Kamis 12 Apr 2018 08:13 WIB

Melongok Penegakan Hukum Kasus Sukmawati

Hingga kini Sukmawati Soekarnoputri belum diperiksa pihak kepolisian.

Wartawan Republika, Bilal Ramadhan
Foto: Pribadi
Wartawan Republika, Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bilal Ramadhan*

Salah satu putri mantan presiden RI Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri membuat geger masyarakat Indonesia dalam aksinya membaca puisi yang berjudul Ibu Indonesia di acara fashion show karya Anne Avantie beberapa waktu lalu. Dalam puisi tersebut, Sukmawati menyinggung masaalah syariat Islam dengan simbol cadar yang dipertentangkan dengan konde dan kidung yang disimbolkan sebagai asli kelokalan Indonesia.

Tentu saja ini membuat gusar banyak orang. Saat mulai masuk ke tahun politik, Sukmawati dengan ‘ketidaktahuannya’ memperkeruh situasi politik dengan memanfaatkan dualisme antara keindonesiaan dan keislaman.

Menyadari puisinya menimbulkan kehebohan, Sukmawati melakukan jumpa pers dan menyatakan permintaan maafnya kepada umat Islam. Ia menyatakan tidak berniat untuk melecehkan Islam. Ia juga mengatakan bahwa ia seorang muslimah yang bangga terhadap keislamannya.

Namun ada yang perlu dicermati dari permintaan maaf Sukmawati. Mengutip pernyataan pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, permintaan maaf Sukmawati memang sudah benar.

Tetapi Sukmawati tidak meralat isi dari puisinya yang seolah menyamakan antara perintah Allah SWT dengan hasil budaya manusia. Dan yang lebih penting lagi, Sukmawati juga tidak mencabut pernyataannya yang ada dalam puisinya di acara jumpa pers tersebut.

Hal ini menjadi penting, karena masalah Sukmawati dengan puisinya tidak hanya dengan satu-dua kelompok. Namun dengan seluruh umat Islam di Indonesia. Tak hanya kaum ulama dan tokoh Islam yang geram, anak-anak muda bahkan yang non-Islam juga menyatakan kemarahannya dengan puisi Sukmawati. Hal itu terlihat dari ramainya perbincangan mengenai puisi Sukmawati, yang umumnya berisi kecaman terhadap Sukmawati.

Tanda-tanda ketidakadilan dari penegak hukum mulai terlihat saat pihak kepolisian berencana akan menerapkan pendekatan restorative justice terhadap laporan-laporan yang melaporkan Sukmawati. Pendekatan ini dengan menyelesaikan persoalan hukum secara damai antara pelapor dan terlapor, dengan ditandai pencabutan laporan.

Sedikitnya ada 12 laporan terhadap Sukmawati di sejumlah daerah. Salah satunya GP Ansor yang mencabut laporannya pada 6 April lalu. Bagaimana dengan pelapor lainnya? Persaudaraan Alumni 212 menyatakan dengan tegas tidak akan mencabut laporan terhadap Sukmawati dan meminta laporannya untuk tetap diproses secara hukum yang berlaku.

Restorative justice sendiri menitikberatkan adanya keadilan terhadap pelapor dan terlapor. Jika pelapornya hanya satu dan bersedia mencabut laporannya, pendekatan ini mungkin saja dilakukan. Tetapi jika pelapornya lebih dari satu dan yang lainnya tidak bersedia mencabut laporan, maka pihak kepolisian harus menindaklanjuti kasus Sukmawati ini. Jika restorative justice dilakukan, maka akan tidak adil untuk pelapor lainnya.

Fiat justisia ruat coelum “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini menegaskan hukum itu equality before the law, semua orang sama di mata hukum. Tidak peduli dia anak pejabat tinggi, anak ulama, anak presiden sekali pun, jika memiliki kasus hukum, maka harus ditindaklanjuti pihak yang berwajib.

Dua pelapor kasus Sukmawati sudah dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya pada 6 April lalu. Akan tetapi, hingga saat ini polisi belum memperlihatkan inisiatifnya untuk memanggil Sukmawati sebagai terlapor.

Lambannya penanganan kasus Sukmawati ini tentu saja tidak seperti yang dilakukan polisi dalam menangani kasus ujaran kebencian, apalagi jika menyangkut penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Apakah menurut polisi penanganan kasus penghinaan terhadap presiden lebih penting daripada menangani kasus penghinaan terhadap agama?. Kita harus tanyakan ini kepada pihak kepolisian.

Contohnya kasus Saracen yang dianggap sebagai kelompok di media sosial yang menyebarkan ujaran kebencian. Kita tentu sangat mengetahui bagaimana gesitnya kepolisian dalam menangani kasus Saracen. Namun ternyata hakim memutuskan bahwa Saracen tidak terbukti menyebarkan ujaran kebencian.

Bos Saracen, Jasriadi juga hanya divonis 10 bulan penjara, itu juga karena dianggap bersalah telah mengakses komputer atau sistem elektronik orang lain tanpa hak. Bukan karena penyebaran ujaran kebencian.

Tentunya sebagai umat Islam, kita diajari untuk memaafkan siapa saja yang meminta maaf, termasuk dalam hal ini kasus Sukmawati. Akan tetapi, menuntut keadilan juga merupakan sebuah hak. Dan menuntut keadilan ini bukanlah balas dendam. Jadi tidak ada salahnya, jika umat Islam menuntut keadilan dari pemerintah negeri ini.

 

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement