REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman menyatakan Anang Sugiana Sudihardjo merupakan orang yang paling aktif dalam pelaksanaan proyek KTP-elektronik (KTP-el). Irman menjadi saksi dalam sidang perkara korupsi KTP-el dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo.
"Pada waktu pelaksanaan, terus terang terdakwa ini adalah anggota konsorsium yang paling aktif karena kalau bukan dia mungkin agak sulit terlaksana KTP-el," kata Irman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/4).
Selain Irman, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto juga menjadi saksi dalam sidang Anang Sugiana. Namun saat dikonfirmasi Hakim, Irman tidak mengetahui penyerahan uang terkait KTP-el dari Anang Sugiana.
"Uang itu baru saya mengetahuinya setelah mendapat laporan dari Sugiharto. Pada akhir Desember 2011 atau awal Januari 2012, Sugiharto lapor sama saya bahwa Pak Anang sudah menyerahkan uang sama Andi.
"Jumlahnya tidak disebut sama saya, hanya untuk termin I,II, dan III," kata Irman.
Selanjutnya, kata Irman, beberapa hari kemudian Sugiharto juga melaporkan kembali kepada dirinya bahwa terdapat penyerahan uang KTP-e kepada Setya Novanto.
"Kemudian beberapa hari setelah itu Pak Giharto lapor lagi pada saya, "Pak, Andi juga sudah lapor kepada saya, kata Pak Giharto bahwa memang sudah diterima dari Anang dan uang itu sudah diserahkan ke SN itu termin 1,2, dan 3," ucap Irman. SN yang dimaksud Irman adalah Setya Novanto.
PT Quadra Solution merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pelaksana proyek KTP-elektronik (KTP-el) yang terdiri dari Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra.
Realisasi biaya atas pekerjaan barang yang dilakukan oleh PT Quadra Solution dalam pelaksanaan proyek KTP-ell adalah Rp 1,87 triliun dan mendapatkan keuntungan sejumlah Rp 79,039 miliar. Atas perbuatannya, Anang didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.