Kamis 05 Apr 2018 15:46 WIB

Fahira: RUU Miras Lamban, Korban Jiwa Terus Berjatuhan

Senator menilai lambannya pengesahan RUU Minol menyebabkan banyak korban jiwa.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).
Foto: ANTARA FOTO
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Lambannya pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Minuman Beralkohol, telah membiarkan korban jiwa karena minuman keras (Miras) oplosan. Terbaru terjadi di Jakarta dan di beberapa wilayah sekitarnya di mana puluhan orang tewas akibat miras oplosan.

"Mau tunggu sampai berapa orang yang tewas hingga DPR dan Pemerintah tergerak rampungkan RUU Larangan Minuman Beralkohol," kata Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris, dalam keterangan persnya, Kamis (5/4).

Fahira yang juga menjabat Ketua Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) menilai bahaya miras itu setara dengan narkoba. Namun hingga saat ini, kata dia, tidak punya undang-undang yang melarangnya. "Kepada Ketua DPR dan Presiden, tolonglah instruksikan agar RUU ini segera dirampungkan. Sudah bertahun-tahun RUU ini molor disahkan," ujar Fahira.

Sebab walau bangsa ini sudah 72 tahun merdeka, Indonesia sama sekali belum mempunyai regulasi setingkat undang-undang terkait larangan miras. Padahal bahaya miras tidak hanya merusak kesehatan jiwa peminumnya, tetapi menjadi biang berbagai persoalan sosial dan kriminal.

Fahira mengungkapkan, salah satu persoalan utama terkait miras saat ini yaitu tidak ada efek jera bagi para pelanggarnya. Sebab sanksi yang diterima terutama mereka yang memproduksi dan mengedarkannya begitu ringan. Ini karena, aturan khusus terkait miras secara nasional yang ada saat ini hanya setingkat Peraturan Menteri (Permen) yang sama sekali tidak bisa menjadi solusi mengatasi berbagai persoalan produksi, peredaran, dan konsumsi miras yang begitu kompleks.

"Masalah begini besar, aturan yang ada hanya Permen. Ini kan ironis dan memalukan bagi negeri sebesar ini. Kalau bicara masalah data atau fakta, kerusakan akibat miras itu nyata dan jadi pemandangan kita sehari-hari. Mohon maaf, negeri ini tidak punya skala prioritas selesaikan masalah di masyarakat. Bayangkan, RUU ini oleh DPR sedianya ditargetkan rampung Juni 2016, tapi sampai sekarang nggak jelas," jelas Senator Jakarta ini.

Menurut Fahira dari berbagai riset yang dilakukan Genam, menunjukkan konsumsi miras dikalangan remaja semakin meningkat. Dari total 63 juta orang remaja, sebanyak 23 persen pernah mengosumsi miras. Bahkan riset di Lapas Anak terkuak fakta bahwa dari dari 43 responden anak yang diwawancarai, sebanyak 15 orang anak meminum alkohol saat melakukan pembunuhan.

Fakta ini sudah kami ungkap saat diundang Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol, Awal 2016 lalu. Sekali lagi persoalan miras ini serius. Kalau hingga 2018, RUU ini tidak juga disahkan, maka dugaan saya bahwa negera tidak punya skala prioritas benar adanya, tegas Fahira.

Saat ini RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) adalah RUU inisiatif DPR yang masuk Prolegnas Prioritas sejak tahun 2015. Bahkan RUU ini juga sebenarnya sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014.

Dalam RUU LMB ini, minuman beralkohol dilarang diproduksi, diedarkan, dan dikonsumsi kecuali untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat terbatas misalnya kebutuhan farmasi, ritual adat dan keagamaan serta wisata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement