Kamis 05 Apr 2018 00:02 WIB

Fenomena Penyerangan Ulama Mengadu Domba Masyarakat

Polisi harus tegas mengungkap aktor di balik penyerangan ulama.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Indira Rezkisari
Mantan Ketua MK Mahfud MD di Kepatihan Yogyakarta .
Foto: Republika/Neni Ridarineni
Mantan Ketua MK Mahfud MD di Kepatihan Yogyakarta .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, buntut dari fenomena penyerangan ulama dan isu hoaks yang menyertainya adalah untuk memecah belah masyarakat. Belum lagi, disertai hoaks yang disebarkan oleh kelompok yang mengatasnamakan diri The Family MCA.

"Ada permainan di belakang ini, seperti Saracen diungkap saja, bahwa mereka memperjualkan agama untuk adu domba bangsa ini. Hati-hati ini sangat sensitif," ujar Mahmud dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI), di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Rabu (4/4).

Mahfud mengatakan, polisi harus berani melakukan penegakan hukum dalam mengungkap siapa aktor di balik penyerangan terhadap ulama dan tokoh agama. Begitu pula dengan hoaks yang menyertainya. Dari 47 berita penyerangan ulama, hanya lima berita yang sesuai fakta. Mahfud pun meminta polisi tidak boleh terpengaruh dan harus independen dalam proses penyelidikan.

"Ini harus diungkap sejelas-jelasnya. Karena sudah menodai keberagamaan kita, terutama orang Islam. Jadi, hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh," kata Mahfud menegaskan.

Kepala Satuan Tugas Nusantara Polri, Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono menyatakan, pihaknya masih terus memproses kasus penyerangan ulama beserta penyebar hoaks yang mengiringi fenomena tersebut. "Kalau sudah memenuhi unsur akan diproses secara pidana. Kalau yang berita tidak benar, kan kita katakan hoaks. Pelaku yang sebarkan hoaks sudah kita proses hukum," kata Gatot di kesempatan yang sama.

Untuk penyerangan yang benar-benar terjadi pada ulama, Eddy meyakinkan pihaknya terus melakukan proses hukum. Bahkan, bila pelakunya terindikasi gangguan kejiwaan sekalipun.

Hal tersebut dicontohkan oleh jajaran Eddy, Komisaris Besar Polisi Umar Surya Fana yang merupakan Direktur Kriminal Umum Polda Jawa Barat. Dalam kasus penyerangan Kyai Umar Basri di Ponpes Al Hidayah Cicalengka, pelaku yang notabene disebut gangguan kejiwaan berkasnya sudah P21 alias lengkap. "Ini harus dipahami bahwa pelaku yang tidak waras itu tetap proses penyidikan dan penuntutan tetap berjalan di KUHP, nanti yang memutuskan adalah hakim dengan pertimbangan ahli," ujar Umar menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement