Jumat 30 Mar 2018 10:03 WIB

#2019GantiPresiden Antitesis dari Gerakan 'Dua Periode'

Gerakan 2019 Ganti Presiden disebut sah, legal, dan konstitusional

Rep: Ali Mansur/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kiri) melambaikan tangan sebelum memasuki pesawat kepresidenan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. ilustrasi
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kiri) melambaikan tangan sebelum memasuki pesawat kepresidenan di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres 2019), sejumlah gerakan 'Dua Periode' untuk memenangkan Joko Widodo gencar dilakukan sejumlah pihak. Baik di sosial media atau kampanye para politikus partai politik yang mendukung Jokowi. Namun, seperti layaknya kompetisi, muncul pula gerakan untuk menyaingi. Salah satunya gerakan #2019GantiPresiden yang tengah viral di media sosial.

Salah seorang inisiator gerakan 2019 Ganti Presiden, Neno Warisman, kaget melihat antusiasnya masyarakat menyambut kampanye tersebut. Neno mengaku awalnya dia hanya membentuk WhatsApp Grup (WAG) untuk grup majelis taklim yang diikutinya.

Menurut dia, anggota yang ada di dalam grup WA itu memiliki satu misi, yakni berkeinginan pemilu mendatang menghasilkan presiden baru. "Kami melarang tidak boleh membicarakan sosok capres. Meski di grup ini terdiri dari berbagai pendukung capres di pilpres nanti," kata Neno menegaskan.

Namun, apakah gerakan ini legal dan tidak melanggar hukum? Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera pun angkat bicara. Ia menegaskan, gerakan tersebut sah, legal, dan konstitusional. Hal itu terjamin pada Pasal 22E menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun untuk memilih salah satunya presiden dan wakil presiden.

"Gerakan ini juga sah seperti dijelaskan di Pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kedaulatan adalah di tangan rakyat. Jadi, gerakan yang menjelaskan urgensi dengan data, analisis, dan dengan menyodorkan calon lain yang lebih baik agar dipilih pada pillres 2019," kata Mardani menerangkan saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (28/3).

Mardani menambahkan, gerakan yang berseliweran di dunia maya itu adalah bagian dari pendidikan politik bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk memilih yang terbaik. Karena, kata Mardani, demokrasi justru memerlukan kompetisi. Dibanding liga Inggris sekalipun, kompetisi pilpres 2019 justru jauh lebih penting, lebih signifikan, dan berdampak tinggi bagi rakyat Indonesia.

"Jadi, gerakan #2019GantiPresiden merupakan antitesis dari gerakan yang sudah bergulir yaitu 'Dua Periode' untuk Pak Jokowi. Ini juga gerakan sah, legal, dan konstitusional," ungkap anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu.

photo
Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera

Mardani berkata, selama ini rakyat mungkin dasar memilihnya karena pesona pribadi, ganteng, sederhana, pandai, figur, tegas, dan lain-lainnya. Mardani menginginkan kompetisi yang lebih substansial. Salah satunya dengan menelisik karaker kepemimpinannya, kualitas kepribadiannya, track record selama ini, termasuk kebijakan, program, hingga kecenderungannya.

Karena itu, esensi gerakan tersebut sehat dan baik bagi demokrasi. Berkompetisi yang lebih substantif, yaitu kompetisi gagasan untuk menyelesaikan problem bangsa ini. Gagasan tentang utang negara, bagaimana gagasan soal dunia usaha, bagaimana gagasan soal demokrasi yang makin terancam.

"Memang gerakannya terkesan seperti 'kejam', tapi bahasa lugas kadang diperlukan agar sadar. Karena itu pula, sejak awal dia memperkirakan akan ada reaksi," kata Mardani.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement