Kamis 29 Mar 2018 01:17 WIB

Jaksa Agung: Eksekusi Mati Terhambat Aspek Yuridis

Aspek itu termasuk, putusan MK bahwa grasi tidak lagi dibatasi tenggat pengajuannya.

Suasana rapat kerja antara Komisi III DPR dan jajaran Kejaksaan Agung di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (28/3).
Foto: REPUBLIKA/Fauziah Mursid
Suasana rapat kerja antara Komisi III DPR dan jajaran Kejaksaan Agung di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung M Prasetyo mengemukakan, pelaksanaan eksekusi mati tahap keempat terkendala aspek yuridis. Aspek itu termasuk, putusan Mahkamah Konstitusi bahwa grasi tidak lagi dibatasi tenggat waktu pengajuannya dan bisa diajukan lebih dari sekali.

"Kalau dulu dengan UU 5 Tahun 2010, grasi dibatasi waktunya hanya satu tahun paling lambat setelah perkara inkrah. Namun saat ini tidak dibatasi lagi, kapan saja dia benar-benar melaksanakan permohonan grasinya itu," kata Prasetyo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/3).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Hal tersebut diputuskan MK dalam sidang pengucapan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi) yang dimohonkan terpidana hukuman mati kasus Asabri, Su'ud Rusli pada Juni 2016.

Menurut Prasetyo, jika aspek yuridis terpenuhi maka eksekusi mati bisa segera dilaksanakan sesuai dengan tata cara proses hukuman mati sehingga masyarakat mudah berpraduga mengapa tidak segera dilaksanakan eksekusi. Dia mengakui banyak terpidana mati mengulur waktu dengan cara memanfaatkan dinamika perkembangan hukum yang ada misalnya dengan tidak ada batasan waktu mengajukan grasi.

"Saya saja gregetan, kapan pun saatnya kalau bisa eksekusi mati, akan kami lakukan. Itu sudah saya buktikan selama menjadi Jaksa Agung sudah 18 orang dieksekusi," ujarnya.

Prasetyo mengakui, bahwa saat ini banyak komentar negatif yang kontra dengan hukuman mati karena hampir sebagian besar negara di dunia sudah menghapuskan pidana mati. Namun, menurut dia, sejauh hukum positif di Indonesia menyatakan hukuman mati masih berlaku, maka Kejaksaan tidak ada pilihan lain yaitu harus melaksanakannya ketika seluruh aspeknya terpenuhi.

"Lalu sikap kontra di dalam negeri, mereka menilai hukuman mati melanggar HAM. Namun kita harus melihat betapa korban yang berjatuhan akibat daripada tindak pidana serius yang pantas untuk dihukum mati," katanya.

Dia mengatakan, khusus untuk tindak pidana narkoba, sekitar 50 juta masyarakat Indonesia yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba dan dari jumlah itu hampir 5 juta orang tidak bisa disembuhkan. Menurut dia, setiap hari ada 40 sampai 50 orang meninggal karena penyalahgunaan narkoba sehingga Kejaksaan memiliki fokus untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement