REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengingatkan negara ini agar terlalu murah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Jimly mengutarakan itu menyusul perdebatan mengenai penerbitan Perppu atau Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyangkut calon kepala daerah yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi.
Menurut Jimly, jika terlalu murah maka negara ini akan memiliki terlalu banyak Perppu. Jimly menambahkan jangan setiap persoalan diartikan sebagai kegentingan yang memaksa.
"Jangan terlalu murah dengan Perppu itu. Mentok sedikit Perppu. Diskusi sedikit, mentok, Perppu. Nanti terlalu banyak Perppu kita punya," kata dia, di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (28/3).
Jimly menjelaskan, Perppu dapat dibentuk apabila keadaan dalam kondisi mendesak. Dalam membuat Perppu pun, dia mengatakan, perlu diperhatikan prosedurnya agar tidak terjebak dalam sikap royal terhadap Perppu.
Kendati demikian, dia mengatakan, penerbitan PKPU juga tidak lantas menjadi solusi mengatasi persoalan peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang menjadi tersangka. Dia mengatakan, KPU tidak bisa menabrak Undang-Undang dengan menerbitkan PKPU.
“Idealnya, kalau harus menabrak UU ya itu tidak bisa dengan PKPU. Kalau mau, mengubah UU. UU hanya bisa diubah melalui (revisi) UU," kata ketua umum ICMI ini.
Jimly melanjutkan jika memang ingin memaksakan penerbitan PKPU maka perlu dilakukan pengecekan UU untuk mengetahui ada norma atau hal yang belum diatur. “Akan tetapi, kalau ada yang kosong, nah, boleh KPU menafsirkan mengisi kekosongan dengan PKPU," kata dia.
Jimly menekankan, pengisian kekosongan aturan di UU itu bisa saja dilakukan oleh KPU selama tidak ada peraturan yang dilanggar. Jika tidak maka KPU tidak boleh melanggar UU.
Ia kemudian mengembalikan persoalan tersebut ke KPU untuk dapat merumuskannya. "Terpulang pada KPU untuk merumuskan. Itulah kira-kira," kata dia.