REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan air baku di Jakarta masih diambil dari Jatiluhur. Ke depan, kata dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus mampu menyediakan air baku sendiri.
"Kita harus punya kemampuan untuk menciptakan air baku juga sendiri. Sebagai kota yang sustainable dan resilience. Kota yang berdaya tahan dan kota yang tangguh," kata Sandiaga di Gedung Blok G, Kompleks Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (22/3) malam.
Salah satu program yang akan dilakukan yaitu mengoptimalkan fungsi waduk sebagai sumber air baku. Selain itu, Pemprov juga akan memanfaatkan air hujan dan mengelola sistem pengolahan air (water treatment).
Sandiaga mengatakan, salah satu waduk yang akan dimanfaatkan terletak di Rorotan dan Pondok Rangon. "Itu daerah-daerah itu banyak yang mangkrak. Jadi ini nanti akan kita tata ulang kembali dalam satu effort untuk memprioritaskan fokus kita untuk ketersediaan dan ketahanan sumber air kita," kata dia.
Air baku adalah air yang akan digunakan untuk bahan baku pengolahan air minum. Pakar Teknik Sumber Daya Air Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Santoso Wignyosukarto mengatakan air minum merupakan kebutuhan dasar dan utama. Kebutuhan air minum di Jakarta saat ini mencapai 1,3 miliar kubik.
"Kebutuhan air minum Jakarta saat ini sekitar 1,3 miliar kubik. Jumlah yang cukup besar," kata Budi kepada Republika.co.id lewat aplikasi pesan, Rabu (21/3) malam.
Saat ini, ujar Budi, 65 persen dari jumlah tersebut masih dipenuhi dengan air baku yang mayoritas diambil dari air tanah. Pemprov DKI harus menyelesaikan target pemasangan jaringan pipa air minum agar masyarakat tidak lagi mengambil air tanah. Pengambilan air tanah yang masif di DKI mengakibatkan penurunan muka tanah hingga 7,5 sentimeter per tahun.
Menurut Budi, pemenuhan air minum harus diutamakan dalam anggaran DKI. Sebab, biaya pemasangan dan pengoperasian pipa air memerlukan investasi yang tinggi. Ukuran petak lahan perumahan yang kecil dan letaknya yang tidak beraturan menyebabkan lebih banyak pipa yang dibutuhkan.
Pemanfaatan air sungai di daerah perkotaan juga membutuhkan biaya penjernihan yang sangat mahal karena banyaknya polutan dan sampah yang dibuang oleh masyarakat ke sungai. Masyarakat perlu tahu akibat yang terjadi apabila mereka membuang limbah dan sampah seenaknya ke sungai, lalu air tersebut dikonsumsi.
"Di beberapa kota utama di luar negeri, air lewat perpipaan sudah air siap minum. Masak kota Metropolitan DKI Jakarta yang kaya (air) tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar warganya untuk hidup lebih sehat?" kata dia.