Rabu 21 Mar 2018 19:57 WIB

Perludem: Selamatkan 6,7 Juta Suara Warga di Pilkada

Bawaslu akan membuka posko pengaduan di tingkat desa

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi bertajuk Korupsi e-ETP dan Dampaknya Bagi Demokrasi Kita di Jakarta, Ahad (2/4).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi bertajuk Korupsi e-ETP dan Dampaknya Bagi Demokrasi Kita di Jakarta, Ahad (2/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan hak pilih masyarakat dalam pilkada 2018 harus diselamatkan. Hak pilih tidak boleh hilang hanya karena pemerintah tidak mampu memfasilitasi kelengkapan kependudukan masyarakat.

Titi mengungkapkan, berdasarkan pendataan KPU, masih ada 6,7 juta pemilih Pilkada 2018 yang belum memiliki KTP-el. Jutaan pemilih itu hingga saat ini belum melakukan perekaman data kependudukan.

"Tidak mungkin ada pilkada yang berintegritas jika masih ada masyarakat yang tereliminasi hak pilihnya. Karena itu KPU dan Bawaslu harus ada di garda paling depan untuk menyelamatkan hak pilih warga. Ketidakmampuan memfasilitasi kelengkapan kependudukan warga negara Indonesia bukan menjadi landasan untuk menghilangkan hak pilih mereka," tegas Titi dalam diskusi bertajuk 'Sinergisitas Penyelenggara Pilkada 2018' yang digelar di Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (21/3).

Titi juga mengingatkan bahwa dalam pilkada, pemilih memiliki kedudukan setara. Terpenuhinya hak pemilih juga menentukan kualitas penyelenggaraan pilkada.

Karena itu, pihaknya meminta kepada KPU dan Bawaslu menindaklanjuti temuan data jutaan pemilih ini. "Kedua pihak harus punya strategi untuk membuktikan bahwa pemilih yang jumlahnya 6,7 juta ini tidak kehilangan hak pilihnya. Jadi kalau satu saja ada warga tercederai hak pilihnya maka kita tidak bisa menyebut penyelenggaraan kepemiluan kita berkualitas," tutur dia.

Sementara itu, anggota Bawaslu, Mochamad Afifuddin, mengatakan temuan data 6,7 juta pemilih yang belum melakukan rekam data KTP-el merupakan peringatan dini bagi penyelenggara pilkada. Temuan ini juga menjadi pengingat kepada masyarakat bahwa secara prosedural, masyarakat harus punya KTP-el agar bisa menggunakan hak pilihnya di pilkada.

Untuk membantu mengatasi persoalan ini, Bawaslu akan membuka posko pengaduan di tingkat desa. Posko ini dibuka setelah data daftar pemilih sementara (DPS) diumumkan secara resmi pada 24 Maret mendatang.

"Gunanya posko untuk tempat pengaduan bagi masyarakat yang belum melakukan rekam data KTP-el. Mengapa kami buka di desa, agar lebih dekat dengan masyarakat," ungkap Afif di Bawaslu, Rabu sore.

Posko, lanjut dia, juga salah satu langkah Bawaslu agar hak pilih masyarakat terselamatkan. Rekap data hasil aduan dari Bawaslu nantinya akan menjadi masukan menjelang penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pilkada 2018.

Melalui keterangan tertulisnya, pada Rabu malam, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mengatakan dalam 6,7 juta pemilih yang belum melakukan rekam data KTP-el, terdapat 2,1 juta penduduk yang berstatus pemilih pemula.

"Pemilih pemula merupakan penduduk wajib pilih yang baru berusia 17 tahun dihitung sejak penetapan daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) sampai pada hari H pemungutan suara," tutur Tjahjo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement