Sebelumnya, Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida menegaskan, kampus tetap kukuh menjalankan kebijakan yang mengatur tata cara berbusana dosen dan mahasiswi, khususnya tentang cadar. Menurut Ridha, rektorat masih dalam tahap mengimbau kepada seluruh dosen dan mahasiswa untuk mematuhi komitmen atas kode etik yang sudah disusun bersama.
Ridha berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi yang menyinggung kewenangan kampus untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang tetap memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Cendekiawan Muslim, Didin Hafidhuddin, menilai perlu diadakan dialog antara IAIN Bukittinggi dan dosen yang menggunakan cadar, yakni Dr Hayati Syafri. Menurut dia, dialog yang sehat harus dilakukan untuk menghindari kecurigaan antara kedua belah pihak. “Seharusnya mengedepankan dialog dan komunikasi yang sehat, bukan saling mencurigai,” kata Didin.
Ia juga mengatakan, pelarangan cadar di dunia kampus merupakan hal yang tidak bijak. Menurut dia, hal tersebut mencegah seseorang untuk menjalankan keyakinan agamanya.
“Saya kira kurang bijak jika di dunia kampus, apalagi UIN, dilarang memakai cadar karena itu hak utama yang bersangkutan untuk menerapkan keyakinan agamanya. Kita berharap main larang yang tanpa alasan itu, apalagi sekadar syak wasangka dan curiga, harus segera dihentikan,” ujar Didin.
Didin melanjutkan, dunia kampus harus bisa menciptakan suasana dialogis dan persuasif. Banyak hal lebih perlu untuk diperhatikan daripada melarang seseorang menggunakan cadar.
“Kita heran juga mengapa banyak yang gerah dengan mahasiswi yang bercadar? Sementara, Muslimah yang berpakaian serbaketat dan serbamembentuk tubuh, malah dibiarkan,” kata dia.
(inas widyanuratikah, Pengolah: eh ismail).