Senin 19 Mar 2018 05:09 WIB

Hawking dan Asal Usul Alam Semesta

Dari teorema Hawking dan Penrose jelas menunjukkan ada yang menciptakan alam semesta.

Stephen Hawking menyampaikan presentasi saat peluncuran award komunikasi yang menggunakan namanya “Stephen Hawking Medal of Science Communicatioan di Inggris (16/12/2015).
Foto: Tobi Melville/Reuters
Stephen Hawking menyampaikan presentasi saat peluncuran award komunikasi yang menggunakan namanya “Stephen Hawking Medal of Science Communicatioan di Inggris (16/12/2015).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Freddy Permana Zen, Guru Besar Fisika Teoretik Energi Tinggi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB)

Beberapa hari lalu, tepatnya Rabu 14 Maret, tepat saat A Einstein dilahirkan sekitar 139 tahun lalu, telah meninggal dunia salah seorang fisikawan besar abad ini, Prof SW Hawking. Hal ini merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi keluarga dan sahabatnya, tapi juga bagi dunia, khususnya bidang fisika.

Banyak karyanya yang menginspirasi kalangan saintis dalam pengembangan ilmu, terutama di bidang ruang-waktu selain juga pernyataan-pernyataannya yang sering kali kontroversial dan banyak menggelitik orang untuk berkomentar.

Bersama-sama Einstein, tak pelak Hawking masuk jajaran selebritas dunia yang komentarnya banyak dikutip media. Di samping itu, sebenarnya menarik untuk membahas teori-teori yang ia kemukakan pada saat hidupnya, sehingga dapat diambil beberapa pelajaran darinya bagi generasi muda dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (juga teknologi).

Singularitas di alam semesta

Awal kariernya dimulai ketika hendak menyelesaikan disertasi S-3 atau doktornya (PhD) di usia yang sangat muda, sekitar 23 tahun, di bawah bimbingan Prof D Sciama di Oxford University. Ia mengajukan proposal bahwa jika alam semesta seperti saat ini dan kita kembali ke masa lalu (dalam waktu sejauh-jauhnya) maka akan bertemu dengan suatu titik awal alam semesta.

Masalahnya adalah bagaimana cara menandai titik awal tersebut dan lintasan mana yang diambil untuk kembali ke masa lalu dan kecepatan berapa? Apakah semua kecepatan atau lintasan sebarang dapat dipakai untuk ke masa lalu?

Untuk keperluan ini, ia harus mengambil teori Einstein sebagai landasan serta matematika bidang topologi dan geometri diferensial sebagai alat analisisnya. Untuk keperluan itu, ia mendekati Prof R Penrose, matematikawan di Oxford yang mendalami bidang geometri.

Teori Newton tidak dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika alam semesta. Teori ini menghendaki semua titik di jagat raya bersifat datar, jika bertemu dengan benda mempunyai massa besar (masif) misalnya galaksi, dinamikanya datar dan tivial.

Tentu hal ini tidaklah betul jika digunakan untuk menggambarkan struktur global jagat raya. Jika ada benda masif maka ruang-waktu yang ada di sekitarnya melengkung (tidak datar), jadi struktur kausal (sebab-akibat) tidak sesederhana konsep Newton.

Ada wilayah benda masif yang bergerak (disebut wilayah timelike), cahaya yang bergerak dengan kecepatan yang paling besar di jagat raya (wilayah null), dan wilayah spacelike yang kecepatan gerak lebih besar dari cahaya.

Tentunya trajektori atau lintasan yang diambil, sesuai dengan lintasan kausal adalah timelike dan null, yaitu benda masif dan cahaya. Untuk bagian spacelike kita abaikan karena tidak kausal, sebab dan akibat dapat bertukar.

Di samping itu, lintasan tempuh yang diambil haruslah yang paling singkat atau ekstrem yang disebut geodesic maka dipilihlah lintasan kausal (timelike dan null) yang bersifat geodesic. Kemudian Hawking (dibantu Penrose), merumuskan dinamika lintasan tadi kembali ke masa lalu, mereka menemukan suatu titik yang mengakhiri sifat kausal dan geodesic dari lintasan, sehingga titik tersebut disebut titik singular atau awal mula jagat raya yang kita tempati ini. Hasil riset tersebut mereka publikasikan di beberapa jurnal dan buku.

Yang menarik adalah kesimpulan dari teorema singulitas di atas menghendaki adanya awal alam semesta, walaupun hanya mengambil efek klasik. Era sebelumnya, berdasarkan teori Newton, keadaan ini tidak dapat dijelaskan, sehingga awal dan penciptaan alam semesta bersifat spekulatif. Sehingga, ada yang berpendapat bahwa alam semesta terjadi dengan sendirinya, tidak ada peranan Tuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement