Jumat 16 Mar 2018 08:20 WIB

Larangan Bercadar Itu Justru Datang dari Kampus Islam

Pandangan ulama berbeda-beda, tapi khilafiahnya bukan persoalan boleh atau tidaknya.

Rep: Sapto Andika Candra, Novita Intan/ Red: Budi Raharjo
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.
Foto:
Cadar

Perihal larangan cadar itu, IAIN Bukittinggi mengatakan itu sekadar imbauan. Imbauan ini dituangkan dalam surat edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi. Dalam surat tersebut, pihak kampus meminta mahasiswa dan mahasiswi untuk mengenakan pakaian sesuai kode etik yang dijalankan IAIN Bukittinggi.

Di poin pertama, surat edaran meminta seluruh civitas academica bersikap sopan santun. Poin kedua menjelaskan aturan berpakaian bagi mahasiswi, yakni memakai pakaian longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar atau masker atau penutup wajah, dan memakai sepatu dan kaos kaki.

Sementara, di poin ketiga diperuntukkan bagi mahasiswa, yakni memakai celana panjang bukan tipe celana pensil, baju lengan panjang atau pendek bukan kaus, rambut tidak gondrong, dan memaki sepatu serta kaus kaki. "Bagi yang tidak mematuhi tidak diberikan layanan akademik," tulis surat edaran tersebut. Aturan serupa juga diterapkan kepada pihak dosen.

Meski begitu, pihak kampus menampik bahwa kebijakan ini merupakan bentuk larangan bagi mahasiswi dan dosen untuk mengenakan cadar. Alih-alih menggunakan kata larangan, pihak kampus menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan imbauan untuk kondusivitas proses belajar-mengajar.

Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menjelaskan, hingga saat ini pihak kampus tidak menerbitkan aturan yang melarang penggunaan cadar. Bagi pihak kampus, aturan yang dijalankan merupakan upaya persuasif bagi dosen dan mahasisiwi untuk menjalankan kode etik.

"Bukan melarang, tapi mengimbau. Untuk ketentuan pedagogi kita. Kan enggak seluruhnya mahasiswa ingin diajar oleh yang bercadar. Yang kami minta pakaian Muslim dan yang biasa. Tapi kalau keluar ajaran Islam, pakaian ndak sopan ya jangan," ujar Syahrul.

Terkait dengan kasus penonaktifan salah satu dosen, Syahrul juga membantahnya. Menurut dia, dosen atas nama Hayati Syafri bukan dinonaktifkan, melainkan diberi kesempatan untuk membuka cadarnya.

Syahrul mengungkapkan, permintaan pihak kampus kepada Hayati untuk membuka cadarnya bermula dari keluhan beberapa anak didik yang merasa tidak nyaman diajar oleh dosen yang bercadar. "Ada beberapa anak didik yang membuat surat bahwa perlu untuk tertibkan saja. Enggak efektif dari segi pedagogi. Kan enggak nampak sebagai guru," kata Syahrul.

Syahrul menambahkan, pihak kampus tidak ingin secara gegabah memberhentikan dosen atau mahasiswi yang bercadar dari kegiatan belajar-mengajar di IAIN Bukittinggi. Catatan kampus, hingga tahun 2017 terdapat tiga mahasiswi yang mengenakan cadar.

Namun, sampai saat ini, lanjutnya, pihaknya terus melakukan langkah persuasif agar ketiganya melepas cadarnya. "Secara persuasif akan kami coba ke mereka untuk taati aturan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement