REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Larangan bagi civitas academica untuk mengenakan cadar kembali terjadi. Pada awal tahun ini, setidaknya ada dua perguruan tinggi negeri yang melarang mahasiswa atau dosennya mengenakan cadar.
Kasus pertama terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun, setelah mendapatkan sorotan dan banyak reaksi negatif, keputusan itu lantas diralat oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga. Sedangkan, kasus kedua terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Yang menjadi pertanyaan, kedua larangan itu justru diberlakukan di kampus yang mengusung nama Islam di institusinya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat (Sumbar) melihat kebijakan IAIN Bukittinggi dengan imbauannya agar mahasiswi dan dosen tidak bercadar merupakan langkah keliru. Ketua MUI Sumbar Gusrizal Gazahar mengatakan, alasan administratif yang dikemukakan pihak kampus sama sekali tidak ilmiah.
Gusrizal melihat kekhawatiran pihak kampus bahwa pemakaian cadar akan membatasi komunikasi antara dosen dan mahasiswa bisa dipatahkan. Menurut dia, pembinaan tidak menuntut seseorang harus melihat wajah mahasiswinya, kecuali bagi mereka yang gemar memandang wajah perempuan yang bukan mahramnya.
"Apakah teori pembinaan hari ini menuntut pandang-memandang seperti itu? Saya tidak tahu, apakah ini pernyataan yang keluar dari akal yang berisi ilmu atau akal yang dikuasai nafsu," katanya, Rabu (14/3).
Gusrizal menambahkan, paling tidak ada dua alasan mengapa cadar tidak bisa dilarang di kampus, apalagi institusi yang mengusung agama Islam di dalamnya. Alasan pertama, lanjutnya, penggunaan cadar adalah hak Muslimah. Sedangkan, alasan kedua, pemakaian cadar adalah bagian dari pilihan menjalankan pandangan dan anjuran ulama.
"Bercadar itu diri Rasulullah. Istri-istri beliau, sahabat perempuan semasa beliau, banyak yang mengenakan cadar. Kita umat Nabi Muhammad, tapi kok melarang bercadar. Di kampus Islami pula," katanya menegaskan.
Gusrizal juga mengingatkan, pandangan ulama terhadap penggunaan cadar berbeda-beda. Meski begitu, dia menilai bahwa khilafiahnya bukan persoalan boleh atau tidaknya. Namun, tentang tingkatan pensyariatannya. "Apakah wajib, sunat atau sebatas mubah," ujar Buya Gusrizal.
Berdasarkan pandangannya, pihak Kampus IAIN Bukittinggi terkesan mencari-cari alasan untuk melarang pemakaian cadar. Menurut dia, bila kejadian ini terjadi di tengah-tengah lembaga pendidikan yang berlabel Islam, hal ini menunjukkan betapa lemahnya intelektual para pengaku cendekiawan Muslim.
"Sehingga, terperangkap dalam propaganda Islamofobia yang mengidentikkan cadar dengan terorisme atau jenggot dengan radikalisme," ujarnya.
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin mengimbau, lembaga pendidikan bisa melakukan pembinaan melalui dialog persuasif terhadap mereka pengguna cadar. "Harus dilihat jika menggunakan cadar adalah motivasi keagamaan religiusitas ekspresi keberagamaan, tentu harus menjadi pertimbangan khusus para pimpinan perguruan tinggi untuk mempertimbangkannya," kata dia.
Menurut Kamaruddin, penggunaan cadar merupakan simbol ekspresi cita rasa keberagamaan. Sekaligus kombinasi budaya dan pemahaman keagamaan sehingga alasan cadar semata tidak boleh dilarang. "Tentu ada alasan lain yang harus diungkapkan jika itu dilarang. Harus dipastikan betul apa alasannya," kata dia.
Dia menduga, salah satu alasan pelarangan cadar dapat mengganggu proses belajar-mengajar. Jika memang benar maka lembaga pendidikan wajib menjelaskan alasannya. "Harus di-treat secara spesifik harus searif mungkin, seikhlas mungkin, karena mereka adalah stakeholder kita," ucapnya.
Untuk itu, dia berpesan kepada perguruan tinggi keagamaan bersikap bijak dan arif melakukan komunikasi, dialog, dan pembinaan agar suasana keberagamaan salah satunya mengunakan cadar itu dihormati. "Mereka mahasiswa dan dosen kita bagian dari kita sehingga bersama-sama kita lakukan komunikasi diskusi," ungkapnya.