Jumat 16 Mar 2018 00:16 WIB

Stephen Hawking, Fisikawan Ateis Kini Menghadap Tuhan

Stephen Hawking dikenal sebagai ateis atau tidak percaya Tuhan.

Stephen Hawking
Foto: EPA/Ramon De la Rocha
Stephen Hawking

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH: Fitryan Zamzami, Nur Hasan Murtiaji

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS al-Anbiya: 30).

Berabad-abad setelah ayat tersebut diterima Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam 14 abad silam, tafsir para mufasir soal ayat tersebut sedikit saja berubah. Ibnu Katsir dan Imam Suyuti menyepakati ayat itu menerangkan langit dan bumi mulanya lapisan-lapisan yang menumpuk dan kemudian dipisahkan dan disusul turunnya hujan yang menghijaukan dan menghidupkan bumi.

Belakangan, sejak pertengahan abad ke-20, ayat itu punya konotasi lain. Tak sedikit ulama dan ilmuwan Muslim yang meyakini ayat itu mengindikasikan soal peristiwa Big Bang. Teori yang kini diakui secara meluas oleh mayoritas ilmuwan fisika itu menerangkan soal awal terciptanya alam semesta dari setitik noktah tunggal yang meledak dengan akbar miliaran tahun lampau dan terus mengembang menjadi galaksi-galaksi, bintang-gemintang di dalamnya, serta planet-planet yang mengitari bintang-bintang tersebut.

Saat kemunculannya pada 1920-an, teori tersebut sempat tak dianggap di kalangan ilmuwan yang kebanyakan memercayai teori keadaan tetap alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir. Namun, pada 1959 terjadi titik balik. Semuanya bermula saat seorang mahasiswa Universitas Oxford, Inggris, bernama Stephen Hawking menyadari ia terkena penyakit saraf motorik amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengancam melumpuhkan tubuhnya.

photo
Stephen Hawking

Dibayangi penyakit tersebut, Hawking mencurahkan pikiran pada bidang fisika teoritis, terutama terkait kosmologi. Seperti dilansir BBC, ia kemudian mengambil PhD di Universitas Cambridge dan mempelajari dengan tekun soal teori spekulatif tentang lubang hitam alias black hole, sebuah keadaan saat bintang tertentu mati dan menjadi objek dengan daya tarik gravitasi dahsyat yang menyedot segala materi, bahkan cahaya.

Dari telaahannya terhadap teori tersebut, Hawking menyimpulkan Big Bang adalah semacam kebalikan lubang hitam. Pada 1970, di tengah penyakitnya yang kian parah dan mulai membuat lumpuh, Hawking bersama fisikawan matematis Roger Penrose kemudian menerbitkan teori yang menyimpulkan alam semesta pasti bermula dari sebuah keadaan yang disebut singularitas.

Keadaan saat ruang dan waktu sedemikian padat sehingga tak mematuhi hukum-hukum fisika konvensional. Dari keadaan itulah kemudian alam semesta meledak dan terus mengembang.

Teori singularitas tersebut, meski belakangan dikoreksi Hawking, kemudian dianggap para fisikawan meneguhkan keberadaan lubang hitam dan kebermulaan alam semesta melalui peristiwa Big Bang. Saat ini, teori Big Bang sedemikian kuat mengakar di komunitas ilmiah sampai-sampai dipakai menafsirkan ayat ke-30 surah al-Anbiya di atas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement