REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti tata kota dari Universitas Harvard Prof Richard B Peiser mengatakan banyak negara, termasuk Indonesia, bisa belajar dari Korea Selatan dalam membangun kota dan ibu kota baru.
Masukan dari Peiser itu juga dapat dikaitkan dengan rencana pemerintah Indonesia yang berniat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kota lain. Sementara Jakarta tetap menjadi pusat bisnis.
Korsel saat ini memiliki kota Sejong yang ikut mengurangi kepadatan dan kemacetan di ibu kota Seoul. "Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan jika ingin membangun kota baru yaitu biaya pembebasan lahan dan pembiayaan infrastruktur," kata Peiser di sela acara diskusi The Economics of New Towns: Why They So Often Fail? di Jakarta, Kamis (15/3).
Dia mengatakan pembebasan lahan cukup menghabiskan banyak biaya termasuk untuk infrastruktur. Banyak negara-negara di dunia yang gagal membangun kota baru karena tidak bisa konsisten dalam membangun setidaknya selama 10 tahun pertama. Sebaliknya, jika sudah bisa ajeg membangun selama satu dasarwarsa awal maka prosentase kesuksesan dapat meningkat.
Peiser mengingatkan para pemangku kepentingan juga harus mempertimbangkan sejumlah populasi penting apabila membangun kota baru, yaitu kalangan orang kaya dan berkemampuan. Saat ada orang yang kerkemampuan tinggal di kota baru tersebut maka dapat memicu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Orang kaya, kata dia, menjadi penunjang pertumbuhan positif kota baru. Hal sebaliknya yaitu kota baru tanpa orang kaya justru tidak berkembang dengan baik seperti di kawasan relokasi perang dunia dengan populasi orang tidak kuat secara ekonomi.
"Ada jumlah dana besar dari orang-orang kaya sehingga bisa membangun fasilitas. Mereka menunjang proses pembangunan setidaknya untuk tujuh tahun pertama. Mereka dapat menjadi penentu naik turunnya perekonomian. Kalau bisa bertahan maka kota baru bisa tumbuh," kata dia.
Di tempat yang sama, Rektor Universitas Tarumanegara Prof Agustinus Purna Irawan mengatakan orang kaya atau orang hebat memang bisa menjadi magnet pertumbuhan ekonomi kota baru.
"Ketika dalam komplek itu ada orang hebat kalangan menengah itu bisa memancing daya tarik. Memang harus ada pengerak orang hebat dan ada sistem perekonomian yang berjalan secara mandiri," kata dia.
Di Indonesia, kata dia, bisa diterapkan suatu komplek terdapat kluster milik orang kaya kemudian di sisi lain berisi kalangan menengah ke bawah sehingga semua kalangan memiliki kesempatan yang sama tinggal di kota baru.
Menurut Agustinus, sejumlah pemikiran dari Peiser soal pembangunan kota baru itu berasal dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Harvard itu terhadap sejumlah kota di dunia. Ide-ide dari Peiser bisa diserap oleh para pemangku kepentingan di Indonesia dengan mengkombinasikan kearifan lokal.
"Di Barat itu jadi referensi tapi tetap nilai lokal harus digabung. Karena kalau kita modern sepenuhnya seperti mereka juga mungkin tidak akan berhasil juga. Kita harus juga memasukkan budaya kita. Kita gali potensi lokal juga kombinasikan yang dimiliki peneliti luar, bukan sekonyong-konyong diterapkan di Indonesia," kata dia.