REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir menilai permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta KPK menunda pengumuman calon kepala daerah yang dapat ditersangkakan kasus korupsi merupakan sesuatu yang tidak relevan. Dia mengkhawatirkan penegakan hukum yang sekarang jadi terkesan diskriminasi.
"Dua-duanya lembaga ini mengintervensi dalam proses ini mencampuradukkan urusan politik," paparnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/3).
Dari sana, muncul kecurigaan mengenai semua proses yang bersinggungan dengan kepentingan politik. "Itu artinya, indikasi yang kurang sehat dalam mencampuradukkan antara penegak hukum," jelasnya.
Karena itu, Mudzakir menunjukkan kekhawatirannya ketika capada menang Pilkada namun terjangkit kasus korupsi. "Ini menjadi tidak sinkron dengan opini masyarakat bahwa dia dalah orang baik dan menjadi pembimbing mereka. Di sisi lain, KPK mencomot begitu saja sebagai tersangka," katanya.
Hal tersebut membuat kehidupan bernegara Republik Indononesia seolah-olah pejabat di Indonesia penyelenggaraannya jahat semua. Sehingga pengusaha-pengusaha semua selamat tidak masuk ke ranah itu dan penyelenggara terkesan tidak bagus.
"Menurut saya Wiranto bagus, tapi dalam situasi saat ini semestinya dia koordinasi saja," lanjutnya.
Mudzakir memaparkan jika membuat segmen tandingan seperti itu akan menjadi tidak sehat dan terkesan seolah-olah intervensi. Padahal, KPK muncul mengumumkan orang jadi tersangka tanpa disertai bukti.
"Nanti diambangkan terus hingga pilkada selesai dan itu terlihat menyengsarakan orang, kalaupun tersangka menang malah jadi blunder. Sebagian pihak menolak tersangka menjadi pemimpin di situ, ini akan menimbulkan chaos," terangnya.
Kekecawaan tersebut dapat hadir jika pemimpin yang sudah dipilih harus tetap menjadi pemimpin meski bermasalah. "Dalam bahasa hukumnya makar, alasannya dicopot dibenarkan karena kenapa tiba-tiba dijadikan tersangka," tutupnya.