REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mendukung kebijakan yang mengatur pengajuan cuti selama satu bulan kepada PNS laki-laki untuk mendampingi istri saat menjalani proses melahirkan, tanpa memotong jatah cuti tahunan. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti PNS.
"Ini regulasi paten. Nyata bahwa banyak lelaki (suami) zaman sekarang yang tidak lagi mau disebut semata-mata sebagai orang yang sukses membangun karier profesional. Mereka juga bahkan lebih bangga diidentifikasi sebagai lelaki yang menjadi idola bagi anak-anak mereka," kata Ketua LPAI Seto Mulyadi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (13/3).
Menurutnya, regulasi ini akan membuka gerbang ideal bagi kesetaraan gender. Selama ini, dia mengatakan, pembicaraan tentang kesetaraan gender kerap terkait dengan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di kantor.
"Sekarang masanya diberlakukan kesetaraan kesempatan bagi laki-laki untuk juga piawai mengasuh di rumah," kata dia.
Di sisi lain, dia menyatakan, penerbitan aturan itu memberikan tantangan bagi PNS. Tantangan tersebut, PNS harus membuktikan bahwa mereka termasuk kelompok dengan produktivitas yang semakin meningkat.
Sebab, Seto mengungkapkan, banyak studi yang menunjukkan fasilitas cuti bagi para suami untuk mendampingi persalinan istri justru dapat meningkatkan produktivitas mereka. "Bahagia di rumah, merasa keren berstatus ayah, ternyata dapat mendiptakan suasana batin yang baik selama di tempat kerja," ujarnya.
Dia melanjutkan suasana itu membuat pekerja laki-laki dapat lebih ulet dan lebih gigih dalam bekerja. Namun, dia menerangkan, studi itu dilakukan kebanyakan di kalangan karyawan swasta.
Dampak positif lainnya, menurut dia, hasil penelitian di Swedia menyimpulkan aturan cuti mendampingi istri melahirkan atau parental leave membuat angka perceraian menurun tajam.
"Inilah bukti betapa ungkapan It takes to Tango dalam membesarkan anak benar-benar bisa mewujud di rumah," kata Seto.
Seto berharap semoga peraturan ini dapat memantik para orang tua untuk melihat kembali relevansi ketentuan-ketentuan lainnya terkait pengasuhan anak. "Misalnya, masih tepatkah jika kuasa/hak asuh anak pascaperceraian harus serta-merta diberikan ke ibu? Juga boleh jadi tidak sedikit lirik lagu anak-anak yang menonjolkan penghargaan bagi ibu perlu ditulis ulang," ujarnya.
Ia juga berharap, peraturan ini juga dapat menjadi acuan untuk pertimbangan mengubah nama satuan-satuan kerja yang beraroma 'diskriminatif' di kepolisian. "Semacam Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Kekerasan Anak dan Wanita (Renakta)," kata Seto.