Senin 12 Mar 2018 06:26 WIB

Menebak Gestur Politik Demokrat

SBY dalam pidatonya memberikan sinyal Demokrat siap mendukung Jokowi pada pilpres.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
 Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden RI Joko Widodo, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang yudhoyono, Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan (kiri ke kanan) dalam   pembukaan  Rapimnas Partai Demokrat di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (10/3).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden RI Joko Widodo, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang yudhoyono, Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan (kiri ke kanan) dalam pembukaan Rapimnas Partai Demokrat di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (10/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Partai Demokrat belum menentukan arah politiknya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, tetapi ada kemungkinan untuk bergabung dengan gerbong pengusung Joko Widodo. Hal itu dapat diketahui dari gestur politik partai berlambang Bintang Mercy pada Rapimnas Partai Demokrat di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Menurut pakar komunikasi politik, Anang Sundjoko, gestur yang ditampilkan Partai Demokrat penuh makna. Apalagi, pernyataan ketua umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa bermakna bahwa Demokrat dapat menjadi koalisi Joko Widodo. 

SBY dalam pidatonya di Rapimnas memberikan sinyal kesiapan partainya mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Anang menganggap ini sebagai pelatuk atau trigger

Jika trigger ini berhasil maka akan muncul peluang negosiasi. Pada proses negosiasi ini, Demokrat akan mengajukan untuk mendapatkan posisi calon wakil presiden (cawapres). 

"Gestur yang bermakna, siapa sangka bisa bisa bergabung dengan Joko Widodo. Tentu saja tidak ada yang gratis," ungkap dosen Universitas Brawijaya Malang itu, Ahad (11/3).

Anang juga menyoroti soal gaya komunikasi SBY dan Jokowi. Dari sudut pandang komunikasi politik, Anang menyebut, gaya komunikasi SBY dalam pidato tersebut memiliki konteks tinggi atau high context

Dia menambahkan apa yang diperlihatkan Jokowi dan SBY pada rapimnas tersebut juga menjadi contoh gaya komunikasi politik di depan publik antara presiden yang masih menjabat dan pendahulunya. Menurut Anang, kondisi ini tidak pernah terjadi sebelumnya menjelang tahun politik. 

Kendati demikian, dia mengatakan, proses politik secara keseluhan berjalan sangat dinamis sehingga berbagai kemungkinan bisa terjadi. Apalagi, dia tidak yakin anggota koalisi Jokowi akan mudah menerima syarat tersebut. “Permintaan Demokrat kemungkinan tidak main-main dan tidak remeh," kata dia. 

Saat ini, lima partai sudah mendeklarasikan akan mengusung Joko Widodo untuk periode kedua pada pilpres 2019. Kendati belum mengumumkan akan berkoalisi, lima partai tersebut, yakni PDIP, Partai Golkar, PPP, Partai Nasdem, dan Partai Hanura, bakal membuat Jokowi mengantongi modal 51,66 persen kursi di DPR. 

Rival yang mungkin menantang koalisi Jokowi, yakni Partai Gerindra (13 persen) dan PKS (7,1 persen), yang memiliki gabungan kursi sebesar 20,1 persen. Dengan kondisi ini, poros ketiga hanya mungkin muncul jika Partai Demokrat, PAN, dan PKB, memutuskan berkoalisi. 

Tiga partai itu belum memutuskan arah koalisi dan memiliki gabungan kursi persen. Perinciannya, Partai Demokrat 10,89 persen, PAN 8,75 persen, dan PKB 8,3 persen. 

Anang berpendapat, Partai Demokrat masih menjajaki koalisi dengan sejumlah partai politik untuk Pilpres 2019. Sebelumnya, mereka juga melakukan pertemuan dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kemudian, Demokrat mengundang Jokowi ketika rapimnas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement