Sabtu 10 Mar 2018 05:09 WIB

Medsos, Perang intelejen, Hingga Revolusi Arab Spring

Perpecahan akibat medsos mendahului penaklukan suatu bangsa.

Revolusi Arab Spring di Tuniasia.
Foto:
Kadafi terbunuh dalam revolusi Arab Spring.

Ketika merenungkan soal itu, tiba-tiba mata ini membaca tulisan usang di Washington Post tertanggal 21 Mei 2015. Isinya sangat mengejutkan. Bercerita tentang: Britain hid secret MI6 plan to break up Libya from US, Hillary Clinton told by confidant. Terjemahahan bebasnya: Inggris menyembunyikan rencana rahasia MI6 untuk memecah Libya dari AS, ini dikatakan orang kepercayaan Hillary Clinton.

Bila dirunut lagi, berita ini memang tidak mengejutkan bagi orang yang paham. Sudah lama beredar berita tentang itu. Media sosial ternyata bisa menjadi alat bagi kekuasaan dan kepentingan asing untuk menguasai sebuah negara. Mereka bisa berani dalam isu pemilu seperti sudah terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, meletuskan perang ‘riil’ yakni perang senjata di dunia nyata.

Direktur LSI, Denny JA, yang nota bene mantan didikan di sebuah uversitas Amerika pun mengakuinya. ”Lima tahun ini mata kita terbelalak. Alqaidah dan ISIS begitu dibenci  publik negara barat. Ternyata semakin banyak pejabat AS berkata, termasuk Hillary Clinto. Betapa kerja intelijen Amerika Serikat ikut melahirkan dua monster itu, kata Deny JA dalam sebuah tulisannya dengan menambahkan pernyataan Hillary Clinton, "jangan lupa! kita sendiri (Amerika Serikat) ikut menciptakan, memberi dana dan melatih Alqaidah di masa awal.’’

Nah, pada badan berita di Washington Post itu yang menyebut Moemar Khadari dengan ‘Gadafi’ tertulis begini: Inggris bertindak menipu di Libya dan David Cameron mengizinkan sebuah rencana MI6 untuk "memecah" negara tersebut, seorang kerabat dekat Hillary Clinton mengklaim dalam serangkaian laporan rahasia yang dikirim ke sekretaris negara tersebut.

photo
Hilary Clinton dan Sydney Blumental. (Foto: AFP jpg).

Sidney Blumenthal, teman lama Clintons, mengirim email kepada Nyonya Clinton di akun pribadinya untuk memperingatkannya bahwa Inggris "bermain game" di Libya. Blumenthal tidak memiliki peran formal di Departemen Luar Negeri AS dan memo nya kepada Nyonya Clinton bersumber pada kontak pribadinya di Timur Tengah dan Eropa.

Kendati demikian, Nyonya Clinton tampaknya telah mengambil beberapa laporannya secara serius dan meneruskannya kepada para diplomat senior yang bekerja di tingkat tertinggi kebijakan luar negeri Amerika.

Yang pertama dari memo Libya Blumenthal - yang telah bocor ke New York Times - dikirim pada 8 April 2011, karena pasukan pemberontak berjuang untuk memperoleh keuntungan dari pasukan Gaddafi, dan memiliki "permainan bermain Inggris" di baris subjek.

Memo tersebut memperingatkan bahwa para diplomat Inggris dan petugas MI6 menjaga saluran rahasia kembali dengan rezim Gaddafi "dalam upaya untuk melindungi posisi Inggris jika pemberontakan tersebut mengalami jalan buntu".

Blumenthal mengklaim bahwa mata-mata MI6 sedang dalam diskusi dengan Saif Gaddafi, putra diktator tersebut, "mengenai hubungan masa depan antara kedua negara jika dia mengambil alih kekuasaan dari ayahnya dan menerapkan reformasi".

Memo tersebut juga mengklaim bahwa pemberontak Libya sangat mencurigakan terhadap Inggris dan menduga bahwa Inggris akan "puas dengan jalan buntu" di mana Gaddafi atau keluarganya tetap berkuasa di negara tersebut.

Kecurigaan mereka dipicu saat menteri luar negeri Gaddafi, Moussa Koussa, membelot ke Inggris pada Maret 2011, kata Blumenthal. Pemberontak tampaknya melihat pembelotan tersebut sebagai bukti bahwa Inggris memiliki jalur komunikasi rahasia dengan jajaran tertinggi rezim Gaddafi.

Tulisan berita ini makin menarik karena kemudian diserta copian email dari lalu lintas pembicaraan. Dan ini dapat ditengarai sekaligus ‘dibaui’ apa yang sebenarya terjadi di sana. Apa yang terjadi di Libya? dan Apa yang tengah dilakukan negara Amerika Serikat dan Inggris.

Di sini jelas muncul bahwa perang persepsi dan perpecahan di media sosial mendahului perang senjata yang riil dan penaklukan sebuah negara kepada negara lain. Pelajarannya, perpecahan di sebuah negara ternyata dinikmati sebagai sebuah ‘anugerah’ bagi negara lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement