REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi masih melakukan penelusuran terkait adanya transaksi keuangan dalam operasional penyebaran hoaks oleh kelompok yang menamakan diri The Family MCA (Muslim Cyber Army). Dalam hal tersebut, polisi mencari adanya bukti transaksi keuangan sehingga dapat ditelusuri tokoh di balik aktivitas penyebaran hoaks tersebut.
"Untuk pendapatan, kami tentu saja tadi kami ngomong masalah transaksi kan kami harus mendapatkan bukti dari mana uangnya dan lain lain. Untuk bagaimana proses penggerakkannya ini, kami masih menunggu ya," ujar Analis Kebijakan Madya Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Sulistyo Pudjo di Blok M, Jakarta Selatan, Rabu (7/3).
Hal yang menjadi pertanyaan berikutnya, kata Pudjo, masih seputar siapa tokoh di balik kegiatan di The Family MCA. Hal ini menurutnya, masih perlu pendalaman lebih lanjut. "Ini kami melakukan pendalaman tentu saja berdasarkan bukti bukti digital informatika kemudian bukti transaksi keuangan," ujar dia.
Kepolisian, lanjut Pudjo mencari bukti riil berdasarkan fakta penyidikan yang diperoleh. Polri tidak bisa berandai-andai. Bukti yang didapatkan tersebut menjjadi dasar penyidikan lebih lanjut dan tindakan lain yang dibutuhkan Polri.
"Selama ini kita belum memperoleh fakta pemesannya, yakni masih dalam proses penyidikan dari Ditsiber," ucap salah satu Juru Bicara Polri ini.
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menangkap tujuh orang yang diduga penyebar hoaks dan tergabung dalam kelompok The Family MCA. Seorang tersangka bernama Bobby Gustiono ditangkap Ahad (4/3). Sebelumnya, sejumlah tersangka ditangkap serentak pada Senin (26/2).
Muhamad Luth (40 tahun) ditangkap di Sunter, Jakarta Utara. RSD (35 tahun) ditangkap di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung. RS ditangkap di Jembrana, Bali. Sedangkan Yus ditangkap di Sumedang Jawa Barat. Tersangka lain ditangkap di Palu dengan inisial RC, dan seorang lagi di Yogyakarta.
Mereka diduga menyebarkan informasi hoaks bermuatan ujaran kebencian dan bernada provokasi sesuai isu yang berkembang seperti isu kebangkitan PKI, penculikan Ulama, dan penyerangan terhadap nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu. Selain ujaran kebencian, jaringan ini ini diduga juga mengirimkan virus kepada kelompok atau orang yang dianggap musuh.
Virus ini biasanya merusak perangkat elektronik penerima. Mereka terancam dikenai pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU ITE 11/2008 ITE, pasal jo pasal 4 huruf b angka 1 UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau pasal 33 UU ITE.