Kamis 08 Mar 2018 05:11 WIB

Cadar, Kekhalifahan, dan Akar Islamofobia di Nusantara

Akar Islamofobia bisa dilacak hingga zaman Sunan Giri di Gresik.

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Pesantren Leler Banyumas, Jawa Tengah.

Tentu saja sikap anti segala hal yang berbau Islam muncul. Sebagian pihak dari keturunan Majapahit menganggap Demak sebagai ancaman. Ini terlihat jelas dalam legende Syekh Siti Jenar yang tampak dikesankan sebagai sikap antieksistensi kekuasaan para ulama yang menjadi penasihat Kerajaan Demak (yakni para ulama/wali). Lalu, setelah surutnya Raden Fatah dan pindahnya Kerajaan Demak ke Pajang, sikap fobia ini timbul. Kemudian, makin kentara ketika muncul perlawanan terhadap Sunan Kudus dengan lahirnya tragedi Arya Penangsang sampai kemudian munculnya kerajaan Mataram Islam di kawasan pedalaman selatan Jawa yang dipimpin anak bangsawan petani yang juga keturunan Majapahit, yaitu Pangeran Senapati.

photo
Masjid Kauman

Akan tetapi, melihat ekistensi Islam sudah begitu kuat menghujam dalam politik dan masyarakat, sikap anti-Islam tidak sepenuhnya bisa dijalankan. Jalan keluarnya adalah semacam kompromi, Islam berusaha dijinakkan atau dicangkokkan dengan budaya lokal. Para penguasa Mataram saat itu sadar bahwa di luar kekuasaan mereka ada imperium Islam yang lagi berjaya, yakni Kekhalifatan Ottoman. Maka, mereka paham bahwa 'mengislamkan Jawa' adalah sebuah pilihan terbaik. Jejaknya bisa dilihat dengan proses kemunculan kisah atau mitos Ratu Kidul sebagai sebuah legenda baru yang pada zaman Majapahit, Demak, dan Pajang tidaklah dikenal. Mereka menutup diri dengan pergi memindahkan kekuasaan ke selatan, menghimpun sumber daya, dan memperhalus bahasa dan budaya. Juga menulis biografi, seperti halnya Babad Tanah Jawa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement