Kamis 08 Mar 2018 05:11 WIB

Cadar, Kekhalifahan, dan Akar Islamofobia di Nusantara

Akar Islamofobia bisa dilacak hingga zaman Sunan Giri di Gresik.

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto: Gahetna.nl
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.

Islam sudah tersebar ke Nusantara semenjak abad ketujuh Masehi! Pernyataan ulama besar Hamka pada dekade 70 ini memicu kontroversi mengenai kedatangan Islam di nusantara. Hamka membantah dua teori tentang kedatangan Islam, yakni teori Gujarat dan Cina. Memang teori sebelumnya (kini banyak yang salah kaprah dipercaya) Islam itu datang dari Gujarat, sebuah kota di anak benua India. Cukup lama teori bercokol dalam benak, apalagi karena didukung dan diajarkan di teks buku sekolah sejak zaman Belanda. Sedangkan, teori Cina karena berkaca pada adanya kuburan sahabat Nabi SAW. Selain itu, antara Cina dan nusantara sejak  zaman Sriwijaya sudah terjalin hubungan, bahkan ada sejarawan yang mengatakan sejak awal pertama tahun Masehi.

Namun, apa pun itu, ada hal yang menarik ketika melihat posisi Islam di nusantara (kemudian di Indonesia). Apalagi belakangan terasa ada sikap Islamofobia yang menyebar. Ada yang mengidentikkan ajaran Islam dengan kekerasan, sebutan jihadis dan fundamentalis kini begitu akrab di media massa. Bahkan, di Barat sebutan itu kini sebuah kelaziman. Misalnya, di Spanyol ada data bila tahun lalu terjadi 500 kasus terkait Islamofobia. Di belahan negara Barat dan benua yang lain hal itu kerap terjadi.

photo
Ilustrasi sisa peninggalan Majapahit Gajah Mada

Lalu, di manakah akar Islamofobia di nusantara itu? Bila dilihat semenjak awal selalu ada ketegangan ketika Islam menjadi gerakan politik kekuasaan. Salah satu akar yang paling jelas adalah pada kurun masa akhir Majapahit yang kala itu mulai melemah setelah ditinggal Gajah Mada dan munculnya perang saudara Paregreg. Para keturunan anak raja Majapahit saling berebut wilayah sehingga membuat kerajaan itu lemah.

Nah, pada saat lemah itu, kemudian di Gresik muncul Sunan Giri. Di sinilah ajaran Islam disebarkan ke berbagai penjuru nusantara. Terlihat jelas Giri adalah wilayah pelanjut kebesaran Islam yang sebelumnya muncul di kerajaan di Sumatra bagian utara, misalnya Samudra Pasai. Pengaruh Gresik bisa terlacak sampai ke wilayah timur, misalnya saja wilayah yang kini berada di perbatasan Timor Leste, seperti kepulauan Alor dan Solor. Di sana ada legenda mengenai cerita seorang anak negeri yang dibawa kapal Jawa ke Gresik dan sekitar 10 tahun kemudian kembali pulang ke tanah kelahirnya sebagai penyebar Islam. Di sini diketahui Olelang (nama sosok dalam legenda itu) berada di Giri untuk belajar di Pesantren Sunan Giri.

Ibarat matahari kembar kala itu Giri merupakan saingan Majapahit. Bahkan, secara perlahan tapi pasti sinar Giri (Gresik) malah lebih cemerlang dari Majapahit yang saat itu mulai suram dan kedodoran. Bahkan, Giri menjadi kekuatan politik dengan adanya sosok semacam istana atau ‘Giri Kedaton’. Penguasanya ada yang menyebut sebagai Sunan Giri yang pertama (Sunan Giri Sepuh). Pertarungan antara Gresik dan Majapahit itu kini tak hanya tersaji dalam bentuk sejarah, tetapi juga berbentuk tulisan roman Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik. Pram terlihat mengeksploatasi Islamofobia yang muncul kala itu.

Posisi Giri dan Sunan Giri memang menjadi ganjalan besar bagi Majapahit yang bergerak menjadi kerajaan kecil. Impian imperium seperti ada yang termaktub dalam tulisan Empu Pranpca “Negara Kretagama" menghilang. Setidaknya Majapahit kala itu menjadi kerajaan kecil dan lemah yang kekuasannya secara de facto hanya berada di secuil wilayah di Jawa Timur.

photo
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua yang ada di Indonesia yang terletak di Kampung Kauman, Demak.

Ketegangan inilah yang bergelayut terus hingga berdirinya Kerajaan Demak yang dipimpin oleh seorang anak raja dari Majapahit kelahiran Palembang, Raden Patah. Kerajaan ini malah kemudian eksis menggantikan Majapahit dengan didukung ‘majelis para ulama’ (akrab disebut di Jawa sebagai Wali Songo). Demak kemudian bersinar dan Majapahit redup. Catatannya kerajaan ini masih ada hingga tahun 1515 Masehi, meski hanya sekadar kerajaan kecil biasa.

Tentu efek berdirinya Kerajaan Demak membuat para priayi Majapahit banyak yang terluka hatinya. Sebagaian dari mereka yang merasa lebih baik pergi daripada mengonversi agamanya dari Hindu ke Islam memilih pergi ke Bali atau beberapa tempat seperti di kawasan Pengunungan Tengger atau Pegunungan Lawu. Di tempat itulah mereka mencoba bertahan di tengah arus Islam yang disebarkan oleh ulama atau para guru sufi. Bahkan, raja terakhir Majapahit, Brawijaya, ikutan masygul dan memilih menyingkir ke pegunungan hingga meninggal di sana. Para pengikutnya kemudian menampilkan sosok baru, yakni mengimpikan datangnya zaman ‘normal’ atau zaman ketika agama Hindu dan Buddha masih eksis. Di sanalah kemudian muncul cerita Sabdo Palon dan Noyogengong.

photo
Tempat sesaji suku Tengger tertutup material vulkanik gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur, Senin (4/1).

                                        

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement