Rabu 07 Mar 2018 16:19 WIB

2019, akankah Muncul Capres Tunggal?

Capres-cawapres tunggal dinilai akan membahayakan negara.

Rep: Amri Amrullah, Dian Erika Nugraheny, Ali Mansyur/ Red: Budi Raharjo
Kotak suara Pilpres. (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Kotak suara Pilpres. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebuah koalisi besar telah terbentuk untuk kembali mengusung pejawat Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Muncul spekulasi bahwa dalam ajang lima tahunan itu hanya akan muncul pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tunggal.

 

Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar, mengatakan, koalisi besar PDIP yang mengusung Jokowi sebagai capres memunculkan dominasi politik atas capres tertentu. Menurut dia, banyak partai politik merasa kalah sebelum bertanding.

 

"Hal ini mematikan demokrasi dengan defisit kader terbaik partai untuk capres," ungkap Rully kepada wartawan, Rabu (7/3). Dengan tertutupnya peluang kader partai atau tokoh terbaik bangsa diusung sebagai capres ini maka akan sangat sulit capres alternatif muncul sebagai pilihan memimpin bangsa ini.

 

Rully mengatakan desain pilpres seperti ini sama saja mengarah kepada calon tunggal. Dan ini dinilainya sebagai kegagalan partai politik untuk memunculkan pemimpin nasional yang andal.

 

Model persyaratan presidential threshold (PT) 20 persen di pilpres 2019 memang memungkinkan adanya koalisi di luar dua nama hasil pilpres 2014, Jokowi atau Prabowo. Namun, belakangan, beberapa parpol yang digadang membuat poros baru pun, seperti Demokrat dan PAN, ternyata terlihat gamang.

 

Sedangkan, di sisi lain, Gerindra dengan poros capres Prabowo-nya mungkin terjadi kembali bila solid bersama PKS. Namun, tentu dua parpol ini saja tidak cukup untuk syarat pencalonan. Koalisi ini butuh satu parpol lain, seperti PAN atau PKB. Karena itulah alasan mengapa Demokrat dan PAN juga masih gamang dengan poros baru dan capres alternatif ini. 

 

Sejumlah partai telah menyatakan dukungannya untuk mencalonkan kembali Jokowi. Selain PDIP, partai yang terlebih dahulu mengemukakan dukungannya adalah Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Nasdem, dan PPP. 

 

Sejauh ini, Partai Gerindra dan PKS terlihat masih solid untuk mencalonkan kembali Prabowo Subianto sebagai capres. Adapun Partai Demokrat, PAN, dan PKB belum menentukan jagonya dalam Pilpres mendatang.

 

Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, potensi hadirnya capres-cawapres tunggal terbuka lebar.  Ia mengatakan, Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan parpol yang dapat mencalonkan capres-cawapres hanya merupakan Parpol peserta pemilu sebelumnya. "Itu berarti parpol peserta Pemilu 2014. Parpol baru tidak bisa mencalonkan," ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat.

 

Hasyim menegaskan, jika tidak ada istilah mengusung capres-cawapres, maka yang bisa dilakukan Parpol adalah mendaftarkan capres-cawapresnya. Sementara itu, untuk bisa mendaftarkan Capres-Cawapres, Parpol harus memenuhi syarat, di antaranya perolehan suara sah dan berapa kursi di parlemen berdasarkan pemilu sebelumnya.

 

Hasyim mengingatkan jika Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan uji materi terhadap ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold). Karena itu, aturan yang berlaku sebelumnya mengenai ambang batas pencalonan presiden masih diberlakukan. Maka, jika ada Parpol atau gabungan Parpol yang memenuhi ambang batas pencalonan presiden mendaftarkan capres-cawapresnya, maka KPU tidak boleh menolak.

 

Hasyim melanjutkan, jika ada sisa beberapa Parpol bergabung untuk mendaftarkan Capres-Cawapresnya tetapi belum mencapai ambang batas minimal pencalonan presiden, maka tetap tidak boleh mendaftar. Berdasarkan kondisi ini, dia menegaskan jika UU Pemilu sebenarnya tidak memperbolehkan adanya capres-cawapres tunggal.

 

"Tetapi kalau kemudian sampai batas waktu ditentukan yang daftar cuma itu (satu) UU tetap mengatakan pilpres jalan terus. Undang-undang membuka peluang itu (capres tunggal), tetapi tetap mengingat mekanisme di atas, " ujar Hasyim.  

 

photo
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra saat diwawancara wartawan di gedung KPU, Jakarta.

 

Bahayakan negara 

 

Capres-cawapres tunggal dinilai akan membahayakan kelangsungan negara. Capres tunggal memiliki risiko besar jika kalah melawan kotak kosong dalam Pilpres mendatang.

 

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, mengatakan capres tunggal tidak sehat bagi demokrasi. Risikonya sangat besar jika capres tunggal itu kalah dalam ajang Pilpres. 

 

"Sebab, jika kalah melawan kotak kosong, dalam arti tidak mencapai setengah plus 1 dan tidak menang di 18 provinsi, negara berada di pinggir jurang kehancuran," ujar Yusril lewat pesang singkat kepada Republika.co.id, Selasa (6/3).

 

Hal tersebut, Yusril melanjutkan, disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak bisa memperpanjang masa jabatan presiden sebelumnya (Joko Widodo). Selain itu, MPR juga tidak bisa menetapkan pejabat presiden.

 

Sementara itu, triumvirat (dewan yang bersifat sementara memimpin negara jika terjadi kekosongan kekuasaan) pun telah habis masa jabatannya. "Negara berada di ambang keruntuhan dan potensial chaos karena menghadapi krisis konstitusi yang tidak ada jalan keluarnya," tutur Yusril.

 

Dirinya mengkritisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang disebutnya hanya mementingkan segelintir pihak. "Tanpa berpikir panjang bagaimana menjaga negara agar tidak terjerumus ke arah keruntuhan. Karena itu, lebih baik PBB jadi partai oposisi," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement