REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makin kecilnya peluang calon presiden (capres) alternatif muncul di pemilihan presiden (pilpres) 2019 cukup disayangkan. Padahal, banyak nama alternatif yang mungkin bisa memberikan pilihan bagi pemimpin lain yang berkualitas untuk Indonesia.
Seperti nama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Ekonom Rizal Ramli, Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB). Selain itu, beberapa nama alternatif dari parpol, seperti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Zulkifli Hasan, dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar, mengatakan, dengan koalisi besar PDIP yang mengusung Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres bersama beberapa parpol di parlemen memunculkan dominasi politik atas capres tertentu. Menurut dia, banyak partai politik merasa kalah sebelum bertanding.
"Hal ini mematikan demokrasi dengan defisit kader terbaik partai untuk capres," ungkap Rully kepada wartawan, Rabu (7/3). Dengan tertutupnya peluang kader partai atau tokoh terbaik bangsa diusung sebagai capres ini maka akan sangat sulit capres alternatif muncul sebagai pilihan memimpin bangsa ini.
Desain pilpres seperti ini, menurut dia, sama saja mengarah kepada calon tunggal. "Dan ini adalah kegagalan partai politik yang makin banyak bermunculan tapi tidak menghasilkan kaliber pemimpin nasional," ungkapnya.
Model persyaratan presidential threshold (PT) 20 persen terbaru di pilpres 2019 kali ini memang masih memungkinkan adanya koalisi di luar dua nama hasil pilpres 2014, Jokowi atau Prabowo. Namun, belakangan, beberapa parpol yang digadang membuat poros baru pun, seperti Demokrat dan PAN, ternyata terlihat gamang.
Sedangkan, di sisi lain, Gerindra dengan poros capres Prabowo-nya mungkin terjadi kembali bila solid bersama PKS. Namun, tentu dua ini saja tidak cukup untuk syarat pencalonan. Koalisi ini butuh satu parpol lain, seperti PAN atau PKB. Karena itulah alasan mengapa Demokrat dan PAN juga masih gamang dengan poros baru dan capres alternatif ini.