REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Pemerintahan dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Asep Warlan menuturkan penghentian perkara yang terindikasi tindak pidana korupsi setelah ada pengembalian uang kerugian negara merupakan implementasi dari Undang-undang 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan. Menurutnya pejabat negara belum tentu korupsi meski ada kerugian negara.
"Jadi seseorang ketika melakukan perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian negara, itu belum tentu korupsi, boleh jadi ada kesalahan administrasi sehingga kerugian negaranya dapat diganti," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (2/3).
Asep menjelaskan, pasal 20 UU 30/2014 mengatur kerugian negara yang ditimbulkan akibat kesalahan administratif itu harus dikembalikan paling lama 10 hari sejak terbitnya hasil pengawasan dari Aparat Intern Pemerintah (APIP).
Jika hasil pengawasan menyatakan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang, maka kerugian negara itu diganti oleh institusi yang bersangkutan melalui APBN atau APBD. Sebaliknya, bila ada unsur penyalahgunaan wewenang, yang bersangkutan harus mengganti.
"Maka kerugian negaranya dibayar dulu oleh pribadi itu, tapi tidak dipidana," ucap dia.
Asep tidak menampik UU 30/2014 tumpang-tindih dengan UU 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini menjadi pegangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wajar KPK menyatakan pihak yang mengembalikan uang tidak menghapus unsur pidana sebab acuannya adalah UU 20/2001.
Sejumlah kalangan, jelas Asep, pun pernah berdiskusi agak panjang dan mendalami mengenai apakah UU 30/2014 itu bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di tingkat birokrasi. Pertentangan ini muncul karena adanya pasal 20 tersebut.
"Tapi ada niat baik bahwa jangan sampai nanti tiap ada kesalahan atau kerugian negara itu selalu korupsi padahal belum tentu. Kan bisa saja kesalahan administrasi," papar dia.