Kamis 01 Mar 2018 05:47 WIB

Pesantren Salafi (5)

Salafi-Wahabi membatasi pergaulan agar tidak terkontaminasi pemikiran Islam lain.

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Bagaimana prospek pesantren Salafi? Ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab karena terkait dengan dinamika paham dan gerakan Salafi itu sendiri, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi, Yaman, dan Timteng keseluruhan.

Berbagai perubahan politik, agama, sosial-budaya, dan ekonomi yang terjadi di negara-negara ini mengandung implikasi serta konsekuensi bagi gerakan Salafi—termasuk pesantren Salafi—di Indonesia.

Pada saat yang sama, dinamika dan perubahan kehidupan politik, agama, dan sosial-budaya di Indonesia juga memengaruhi gerakan Salafi dan pesantrennya.

Dinamika ormas-ormas Islam arus utama yang kian mawas terhadap gerakan dan pesantren Salafi menciptakan iklim yang tidak lagi begitu kondusif bagi paham dan gerakan transnasional ini untuk bergerak menyebarkan pengaruhnya.

Perkembangan ini sedikit banyak memengaruhi pesantren Salafi. Kontrawacana dan bahkan kontragerakan dari lingkungan ormas Islam arus utama terhadap paham, gerakan, dan pesantren Salafi cenderung kian meningkat dari ormas Islam arus utama, seperti NU.

Bagi banyak ormas Islam arus utama, di antara doktrin Salafi-Wahabi yang bertumpu pada Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, Asma wa Sifat, dan Mulkiyah, yang paling diwaspadai adalah al-Wala’ wa al-Bara’. Doktrin terakhir ini berarti "cinta dan benci" atau "asosiasi dan disasosiasi".

Menurut doktrin ini, umat Islam harus menyukai berbagai usaha untuk memuliakan Islam dan umatnya. Umat Islam juga harus membenci segala sesuatu yang membenci Islam dan umatnya.

Dalam praktiknya, pengikut Salafi-Wahabi membatasi pergaulan agar tidak terkontaminasi pemikiran Islam lain yang mereka anggap keliru, atau bahkan sesat. Sebab itulah, mereka menjadi kelihatan eksklusif.

Faktor lain yang dapat membuat surutnya pesantren Salafi adalah pendanaan. Bukan rahasia lagi, pesantren Salafi mendapat banyak dana dari instansi pemerintah, lembaga swasta, dan individu di Arab Saudi.

Selain itu, mereka Salafi juga mendapat kucuran dana, misalnya dari Jam’iyah Ihya al-Turats al-Islami (Kuwait) dan Yayasan Syekh Aid al-Tsani al-Khayriyah.

Namun, sejak peristiwa 9/11 (2001) di Amerika Serikat, aliran dana dari Timur Tengah atau negara-negara lain menjadi lebih ketat. Beberapa lembaga yang sebelumnya menyuplai dana dibekukan karena terindikasi terkait terorisme.

Pemerintah Indonesia juga kian ketat memantau transfer dana dari negara-negara Arab; walau pihak-pihak terkait kemudian menemukan cara-cara baru dalam pengiriman dana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement