REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengimbau masyarakat Nusa Tenggara Barat mewaspadai potensi bencana hidrometeorologi akibat cuaca ekstrem tiga hari ke depan.
Kepala Stasiun Meteorologi Bandara Internasional Lombok Oral Sem Wilar yang dihubungi di Mataram, Jumat (23/2) malam, mengatakan potensi hujan masih terus meningkat dalam tiga hari ke depan.
"Besarnya pengaruh lokal dan tingginya pemanasan mengakibatkan periode saat ini hingga akhir Februari nanti memicu peningkatan intensitas hujan lebat yang memungkinkan disertai petir dan angin kencang," katanya.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat agar tetap waspada potensi genangan, banjir maupun longsor bagi yang tinggal di wilayah berpotensi hujan lebat. Terutama di daerah rawan genangan, banjir, banjir bandang, dan longsor.
Waspada terhadap kemungkinan hujan disertai angin yang dapat menyebabkan pohon maupun baliho roboh. Dan tidak berlindung di bawah pohon jika hujan disertai petir.
"Kami juga mengimbau warga untuk waspada terhadap kenaikan tinggi gelombang dan hujan lebat disertai angin kencang yang berbahaya bagi kapal berukuran kecil," ujarnya.
Oral Sem Wilar mengatakan informasi prakiraan cuaca terus diperbarui setiap satu jam sekali. Pasalnya, informasi tersebut sangat vital bagi aktivitas penerbangan dan pelayaran. Disamping sebagai peringatan bagi warga akan potensi terjadinya bencana alam.
"Informasi yang kami olah diteruskan kepada orotitas bandara dan pelabuhan dan dijadikan sebagai acuan untuk izin penerbangan dan pelayaran," ucapnya.
Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca, seperti banjir, longsor dan puting beliung.
Bencana tersebut sudah terjadi di beberapa wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir, seperti longsor di Brebes, banjir di Bandung, Cirebon, Jombang dan Bojonegoro, serta angin kencang di Sidoarjo, Jawa Timur.
Kondisi tersebut dipicu oleh beragam fenomena, mulai dari adanya pola angin baratan yang cukup kuat dan didukung adanya pola daerah pertemuan angin (konvergensi) hingga dipicu oleh skala atmosfer skala lokal maupun skala yang lebih luas di sekitar lokasi bencana. Selain itu kondisi uap air dan kelembaban udara yang cukup tinggi.