Jumat 23 Feb 2018 04:01 WIB

Syafii Maarif akan Luncurkan Buku Pengalaman Jurnalisnya

Syafii Maarif pernah sangat aktif sebagai jurnalis di Suara Muhammadiyah.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)  dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Salman Lumpur atau nama pena dari Buya Syafii Maarif berencana mengeluarkan buku. Buku berjudul Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis itu akan menuangkan pengalaman seorang Syafii Maarif selama menjadi jurnalis di Suara Muhammadiyah.

Buku Ahmad Syafii Maarif Sebagai Seorang Jurnalis akan diluncurkan pada 24 Februari 2018 di Ballroom Grand Quality Hotel Yogyakarta. Peluncuran akan dilaksanakan bertepatan dengan gala dinner peresmian Grha Suara Muhammadiyah.

Sebelumnya, Buya Syafii sudah menelurkan beberapa karya tulis seperti Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak (1984), Percik-Percik Peikiran Iqbal (1984) serta Islam dan Masalah Kenegaraan (1985).

Bagi Pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah, Deni Asyari, Buya Syafii memang terbilang sangat aktif sebagai jurnalis di Suara Muhammadiyah. Baik sebagai reporter, redaktur, sampai pimpinan.

"Tapi, memang beliau tidak memakai nama asli, beliau lebih sering menggunakan nama pena Salman Sumpur," kata Deni kepada Republika.co.id, Kamis (22/2).

Selama berposisi sebagai juru ketik, istilah reporter atau redaktur di Suara Muhammadiyah dulu, gaya menulis Buya memang cukup berbeda dari penulis lain. Ia merasa, Buya cukup jarang melakukan reportase ke dalam Muhammadiyah sendiri.

Ia menilai, gaya penulisan Buya justru lebih banyak membahas atau menyoroti Muhammadiyah dari aspek-aspek luar persyarikatan. Namun, metode penulisan itu ternyata menghasilkan karya-karya tulisan yang memiliki corak tersendiri.

Buya, lanjut Deni, tampak senantiasa mencoba merangkai pengetahuan-pengetahuan maupun pengalaman-pengalamannya sendiri di luar persyarikatan. Termasuk, bagaimana saat Buya menjalani kehidupan di daerah-daerah.

"Misalkan Buya Syafii pernah tinggal di Kudus, lalu ke Yogya dan beberapa daerah yang jadi basis pengalamannya merumuskan pengalaman-pengalaman baru," ujar Deni.

Dari mata masyarakat awam, sosok Buya Syafii sendiri terbilang cukup kontroversial di Indonesia. Kontroversi biasanya mencuat dari pernyataan-pernyataan maupun pandangan-pandangannya yang kerap berbeda dari arus utama.

Namun, di sisi lain, sosok Buya Syafii sering pula dijadikan simbol tokoh Islam yang teduh, dan cukup piawai menjaga hubungan harmonis antartokoh lintas agama. Untuk itu, menurut Deni, cukup menarik mengetahui sisi lain seorang Salman Sumpur itu sebagai seorang jurnalis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement