Rabu 21 Feb 2018 13:55 WIB

Habib Riziek, Iberia, Syekh Yusuf: Kisah Pengasingan Ulama

Banyak Sultan dan ulama diasingkan ke berbagai tempat yang jauh dan asing.

Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Foto:
Sukarno dan Agus Salim ketika diasingkan ke Prapat, Sumatra Utara.

Tapi perlawanan terus datang dan tak berhasil dipadamkam. Di zaman yang baru lalu ada nama tempat pengasingan yang terkenal, yakni Digul di Papua dan Banda Neira di Kepulauan Maluku. Para pengelana tamak Ibera itu bermaksud menerungku anak negeri yang berani melawannya. Tak cukup di hukum, para ‘pelawan’ itu harus hidup dalam pembuangan. Banyak di antara mereka sampai mati di tanah asing itu.

photo
Kapal layar era kolonial atau VOC. Selain angkut hasil bumi, sarana kapal sejenis ini juga dipakai untuk mengangkut para Sultan dan tokoh ulama tanah pengasingan.

Memasuki era kemerdekaan kemudian muncul berbagai nama dan tempat penahanan yang berupa penjara. Pada era Sukarno ada penjara di seputaran Jakarta hingga Jawa Timur yang menjadi tempat tahanan tokoh bangsa yang dikurung tanpa pengadilan. Di zaman awal Orde Baru, ada tempat pengasingan para tokoh PKI yang berada di Pulau Buru. Di zaman Orde Baru, banyak orang yang anti Suharto lari ke Malaysia. Tak hanya orang Jawa saja dan tokoh gerakan Islam saja, tapi para pelawan gerakan Aceh Merdeka juga lari ke negara itu.

Yang paling mutakhir adalah ‘larinya’ Habib Riziek ke Arab Saudi. Dengan mengasingkan diri ke sana, Habieb Riziek mau tidak mau oleh Raja Saudi disetarakan dengan para pemimpin politik —terutama dari Timur Tengah dan Afrika Utara — yang lari ke negara gurun pasir itu. Mereka mengungsi juga karena dianggap seteru bagi penguasa yang baru. Sama juga dengan Habib Riziek yang pesantrennya di Bogor sempat ditembak oleh orang tak dikenal, para penguasa dan mantan penguasa itu pergi ke Arab Saudi untuk menyelamatkan bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya.

Dan, sama dengan Sultan dan tokoh ulama serta politik di zaman dahulu, kepulangan mereka juga memicu sumbu kontroversi politik. Bila di zaman Perang Diponogoro dahulu ada Sultan Jogjakarta yang dipanggil pulang dari pengasingan demi untuk menenteramkan kehidupan rakyat, kini pun menuai soal baru yang tak kalah pelik. Apakah sang tokoh setelah pulang dari Arab Suadi itu  akan di masukan ke dalam terungku? Apakah malah dibiarkan bebas? Lalu siapakah yang akan jadi korban, dikorbankan, atau rela dengan menyediakan diri dengan mengorbankan diri?

Jawabnya, ternyata hanya rumput bergoyang yang bisa menjawabnya.

 

*Muhammad Subarkah: Jurnalis Republika.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement