REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengungkapkan perlunya penguatan Kejaksaan Agung dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini, kata Prasetyo, terbukti dengan belum terakomodasinya Kejaksaan RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum dalam UUD Tahun 1945, meski telah empat kali mengalami perubahan.
"Ini ironis mengingat penyelenggaraan kewenangan, fungsi dan peran kekuasaan kejaksaan sesungguhnya sudah ada dan tidak dapat dipisahkan dengan lintasan perjalanan panjang sejarah bangsa," kata Prasetyo dalam keterbatasan tertulis yang diterima, Jumat (16/2).
Prasetyo menjelaskan, dalam perspektif historis, sejak disusun dan diberlakukannya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sampai saat ini, eksistensi Kejaksaan RI sebagai salah satu organ penting negara belum diatur secara jelas di mana keberadaannya. Setelah ditelusuri, kedudukan dan posisi Kejaksaan RI sebagai lembaga penegak hukum yang dituntut kemandiriannya hanyalah disinggung secara implisit merujuk ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945.
"Jadi sekali lagi, hanya dalam kemasan pernyataan secara implisit seperti itulah selama ini institusi Kejaksaan RI dikenal dan diformulasikan," kata Prasetyo menegaskan.
Selain itu, dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ditentukan memiliki kapasitas, tugas dan kewenangan penuntutan perkara pidana dan peran-peran lainnya, termasuk sebagai Pengacara Negara. Namun, penyebutan hanya secara implisit dalam konstitusi seperti itu, menurut Prasetyo sudah tidak cukup memberi landasan yang kuat dalam sistem ketatanegaraan sebagai dasar menjalankan tugas, fungsi dan peran dalam proses penegakan hukum.
Hal ini, kata Prasetyo akan memberi pengaruh terjadinya ambiguitas terhadap institusi Kejaksaan RI yang memiliki tugas yang begitu luas, beragam dan kompleks, karena di satu sisi dianggap menjadi salah satu bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di ranah yudikatif, sementara pada saat yang sama juga memiliki tugas-tugas dan kewenangan dalam lingkup pelaksana UU di wilayah kekuasaan eksekutif.
Padahal, lanjut Prasetyo, Kejaksaan Agung sebagai roda penggerak utama penegakan seharusnya memiliki tempat dan kedudukan tersendiri. Namun secara konstitusional dianggap hanya sebagai bagian dari kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, ia berharap kewenangan Kejaksaan diatur secara eksplisit dan jelas di dalam Konsitusi, sehingga dapat memberi makna dan dampak lebih positif dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Kejaksaan sebagai main states organ yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang, maka kewenangan dimaksud sudah seharusnya diperoleh secara atributif dan konstitutif dengan menegaskannya dalam konstitusi," kata Prasetyo.
Prasetyo menekankan, terdapat dua opsi yang menarik dicermati, dikaji, dianalisis dan dibahas lebih lanjut terkait pengaturan institusi Kejaksaan dalam UUD NRI 1945. Pertama, amandemen terhadap Bab IX yang sebelumnya berjudul Kekuasaan Kehakiman menjadi Kekuasaan Peradilan.
Kedua, pengaturan Kekuasaan Penuntutan sebaiknya diatur dalam bab tersendiri yang terpisah dari Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini diatur dalam Bab IX UUD NRI 1945.
"Dimaksudkan untuk membedakannya dengan Kekuasaan Kehakiman yang semata-mata berada pada ranah yudikatif, sementara Kejaksaan memiliki karakteristik yang tidak sama, yang tidak hanya menjalankan fungsi yudikatif," tegas Prasetyo.
Prasetyo meyakini, dengan diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi maka hal itu akan memperkuat kedudukan dan posisi Kejaksaan RI dalam sistem dan struktur ketatanegaraan di negara yang mampu mendorong peningkatan kinerja. Hal ini untuk menjamin konsistensi terwujudnya praktik penegakan hukum penanganan perkara yang mandiri, berkualitas, bermartabat dan terpercaya.