Senin 19 Feb 2018 18:54 WIB

Taksi Konvensional di Bali Terancam Gulung Tikar

Hal ini karena ekspansi taksi online dan tidak mengikuti peraturan yang ada

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Hazliansyah
Pelaku usaha taksi konvensional di Bali menyampaikan keluhan terkait pelanggaran yang dilakukan aplikator online, seperti Grab, Uber, dan Go Car terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108/ 2017.
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Pelaku usaha taksi konvensional di Bali menyampaikan keluhan terkait pelanggaran yang dilakukan aplikator online, seperti Grab, Uber, dan Go Car terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108/ 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pelaku usaha taksi konvensional di Bali terancam gulung tikar karena ekspansi besar-besaran armada taksi dalam jaringan (online) di Pulau Dewata.

Ketua Dewan Pimpinan Unit (DPU) Taksi di Organisasi Angkutan Darat (Organda) Provinsi Bali, I Wayan Pande Sudirta mengatakan, pendapatan sopir taksi konvensional di Bali menurun hingga 65 persen, sementara operasionalnya berkurang hingga 30 persen saat ini.

"Selain karena erupsi Gunung Agung, secara khusus penurunan ini disebabkan karena persaingan harga tidak sehat dengan taksi online," kata Pande dijumpai Republika di Denpasar, Senin (19/2).

Pande mengatakan taksi di Bali, seperti Taksi Jimbaran, Ngurah Rai, Wahana, Komotra, Kowinu, dan Bali Taksi (Blue Bird Group) memiliki lebih dari 2.800 armada yang terancam gulung tikar. Ribuan sopir taksi di Bali pun terancam kehilangan pekerjaan.

"Jika pemerintah pusat dan daerah masih melakukan pembiaran kepada aplikator online yang tidak mematuhi Peraturan Menteri 108, enam bulan ke depan taksi-taksi konvensional ini terancam bangkrut," ujarnya.

Saat ini kerugian yang diderita sopir-sopir taksi konvensional di Bali masih bisa diatasi oleh koperasi. Pande mengatakan perusahaan taksi di seluruh daerah Indonesia yang tidak membentuk koperasi diperkirakan akan lebih cepat gulung tikar.

Ada beberapa bentuk persaingan tidak sehat yang membuat taksi konvensional selamanya akan selalu kalah dengan taksi online.

Pertama, harga taksi online setidaknya harus setara dengan taksi konvensional. Saat ini kisaran harga taksi konvensional yang ditetapkan pemerintah di Bali adalah Rp 6.500 per kilometer (km), sementara taksi online dengan seenaknya mematok harga Rp 3.500 per km.

Kedua, aplikator online tidak boleh merekrut armada sendiri melainkan menggandeng vendor resmi - dalam hal ini organda yang membawahi taksi berizin - untuk menyediakan sopir, menetapkan harga, kemudian menuangkannya ke aplikasi. Permasalahannya saat ini Grab, Uber, dan Go Car bebas merekrut sopir sendiri.

Ketiga, kendaraan online yang beroperasi harus mengantongi izin sewa khusus, memiliki kartu pengawas, lulus pengujian kendaraan bermotor atau uji kir, dan stiker khusus. Jika tidak ada itu, kata Pande semestinya aplikator tidak menerima kendaraan tersebut, apalagi dengan nomor plat luar Bali.

"Ini yang kami sayangkan dari pemerintah. Mereka tegas dan menindak kami (taksi konvensional) jika melanggar aturan, tapi melakukan pembiaran terhadap aplikator yang jelas-jelas melanggar seluruh pasal dalam peraturan menteri," kata Pande.

Pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108/ 2017 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Ini merupakan pengganti Peraturan Menteri Nomor 26/ 2017 yang beberapa pasalnya telah dicabut Mahkamah Agung.

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, I Gusti Agung Ngurah Sudarsana dalam suratnya mengimbau kepada perusahaan aplikasi transportasi online yang beroperasi di Bali untuk memenuhi dan mengikuti kewajiban serta pelarangan sesuai peraturan menteri. Meski demikian, imbauan tersebut masih belum diimplementasikan sampai sekarang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement