REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status Siaga Darurat Kebakaran Lahan dan Hutan selama tiga bulan ke depan. Pemicunya adalah eskalasi kebakaran khususnya di lahan gambut dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Penetapan tersebut diumumkan oleh Pelaksana Tugas Gubernur Riau, Wan Thamrin Hasyim di Kota Pekanbaru, Senin (19/2), dalam rapat koordinasi yang turut dihadiri oleh unsur TNI-Polri, DPRD Riau, BIN Daerah Riau, BMKG dan perwakilan perusahaan. "Dengan ini status Siaga Darurat diberlakukan sejak tanggal 19 Februari hingga 31 Mei 2018," kata Wan Thamrin Hasyim.
Ia meminta agar segera diaktifkan satuan tugas penanggulangan kebakaran lahan dan hutan (Satgas Karhutla) yang akan dipimpin oleh Komandan Korem 031 Wira Bima. "Penetapan status siaga darurat diikuti dengan pembentukan Satgas pengendalian sehingga pengendalian berjalan efektif, terpadu dan efisien," katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Edwar Sanger, mengatakan pada awal tahun 2018 terjadi peningkatan jumlah titik panas (hotspot) dan Karhutla yang sangat signifikan. Sejak Januari, luas kebakaran lahan diperkirakan mencapai 549 hektare (ha) dengan 59 titik hotspot.
Lokasi kebakaran terluas berada di Kabupaten Kepulauan Meranti, yakni mencapai 211,5 ha dan Indragiri Hulu mencapai 121,5 ha. "Kalau dibandingkan dengan tahun lalu pada bulan yang sama memang ada peningkatan, untuk 'hotspot' meningkat 90 persen dan luasan terbakar 25 persen. Namun demikian ini kan sifatnya fluktuatif, karena itu dengan status siaga darurat ini kita akan memperkuat koordinasi dengan BPBD di kabupaten/kota," kata Edwar.
Sebanyak tiga pemerintah daerah di Riau sudah lebih dulu menetapkan status siaga darurat, yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Bengkalis dan Pelalawan. Menurut Edwar, pemerintah daerah lainnya pada pekan ini juga akan menetapkan status siaga darurat, yakni Kabupaten Kepulauan Meranti, Indragiri Hulu, dan Kota Dumai.
"Kita apresisasi pemerintah kabupaten/kota sudah sangat tanggap, jangan ada pembiaran (Karhutla) karena pada bulan kedua ada peningkatan 'hotspot' dan luas kebakaran," katanya.
Pelaksana Tugas Komandan Resor Militer 031 WB, Kolonel Czi I Nyoman Parwata, mengatakan Satgas Karhutla Riau harus memperkuat aksi pencegahan berupa normalisasi sekat kanal dan embung. Menurut dia, sekat-sekat kanal dan embung yang dibuat dua tahun lalu sudah ada yang mulai tidak berfungsi sebagai sumber air. "Dana normalisasi sekat kanal dan embung kemungkinan tidak ada dari dana siaga darurat, karena itu harus dari anggaran yang disiapkan di dinas terkait di pemerintah provinsi dan kabupaten/kota," katanya.
Sementara itu, Kepala BMKG Stasiun Pekanbaru, Sukisno, mengatakan peluang hujan di Riau sangat rendah karena pada Februari hingga pertengahan Maret memasuki musim kemarau. "Peluang hujan sangat rendah, kurang dari 150 milimeter, dan kemarau berlanjut hingga pertengahan Maret," katanya.
Pada akhir Maret hingga April, Riau diprakirakan mengalami musim hujan namun curah hujannya lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Musim kemarau akan datang lagi pada bulan Mei hingga September.
Kemarau pada tahun ini diprakirakan lebih panas karena beberapa faktor, salah satunya karena pengaruh angin Monsun dan posisi matahari berada di atas garis equator sehingga ada peningkatan kemarau. "Kita harus tetap waspada karena bila beberapa hari tidak terjadi hujan, pasti muncul 'hotspot'," katanya.