REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, menilai sulitnya mencari tokoh alternatif baru untuk diusung sebagai calon presiden (capres) pada pemilu 2019. Hingga saat ini, kata dia, nama Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto masih memiliki elektabilitas yang tinggi untuk bertarung kembali pada Pilpres 2019.
Salah satu penghambat sulitnya mencari tokoh alternatif capres tersebut, jelas Hendri, yakni aturan pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.
"Yang memang kita sayangkan hingga saat ini sulit menemukan tokoh-tokoh alternatif baru selain Jokowi dan Prabowo," kata Hendri saat dihubungi Republika, Ahad (18/2).
Hendri menyebut salah satu calon alternatif yang dapat disandingkan dengan Jokowi sebagai calon presiden yakni Gatot Nurmantyo dan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Keduanya bisa muncul terus jika elektabilitasnya bagus. "Malah nanti bisa dipinang Pak Jokowi sebagai wakilnya, salah satu di antara mereka," kata Hendri.
Survei LSI Denny JA beberapa waktu lalu memprediksi, Prabowo Subianto masih akan jadi calon terkuat pesaing Jokowi pada Pilpres 2019. Peneliti LSI Adjie Alfaraby menjelaskan, survei membagi capres penantang Jokowi dalam tiga divisi berdasarkan popularitas. Popularitas dinilai penting karena menjadi modal awal para tokoh untuk bertarung.
Divisi 1 untuk capres yang popularitasnya di atas 90 persen. Dari nama-nama yang akan bertarung, hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam Divisi 1 dengan tingkat popularitas Prabowo mencapai 92,5 persen.
Divisi 2 adalah kelompok untuk capres dengan popularitas antara 70-90 persen. Tokoh yang masuk dalam Divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Divisi 3 merupakan kelompok capres yang popularitasya antara 55-70 persen. Tokoh yang memenuhi kriteria ini hanya Gatot Nurmantyo dengan popularitas 56,5 persen.