REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Bappenas, Bambang Brodjonegoro, tiba-tiba saja menyinggung soal Bontang dan Bintulu dalam forum Bappeda se-Indonesia yang diadakan di Kota Padang, Kamis (15/2) kemarin. Dua kota tersebut, Bontang di Kalimantan Timur dan Bintulu di Sarawak, Malaysia, memiliki kesamaan mendasar yakni sama-sama berperan sebagai sentra industri gas.
Kedua kota tersebut memiliki arti penting secara ekonomi bagi masing-masing negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Tapi Bambang memandang ada poin pembelajaran yang bisa ditelaah dalam proses perencanaan Kota Bontang dan Kota Bintulu. Apa itu?
Bambang menyebut, Bontang merupakan contoh kota di Indonesia yang dibangun secara eksklusif, ditujukan untuk satu perusahaan dan karyawan-karyawannya. Hal ini terlihat dari tata kotanya seperti perumahan pegawai, bandara, rumah sakit, yang menyatu dalam kompleks perusahaan, dalam hal ini adalah Badak LNG. Meski bandara atau rumah sakit saat ini sudah diperuntukkan bagi masyarakat umum, namun tetap saja kesan eksklusif masih melekat dan aksesnya tidak sembarangan. Kondisi ini Bambang sebut sebagai enclave. Ia membandingkan dengan Kota Bintulu yang sama-sama berada di Kalimantan.
Di Bintulu, lanjut Bambang, perencanaan kota dilakukan secara inklusif. Hal ini bisa dilihat dari perumahan pegawai yang membaur dengan penduduk setempat di pusat kota. Bandara pun, lanjutnya, juga dibangun cukup jauh dari pusat pengolahan gas alam di Bintulu. Artinya Kota Bintulu dibangun tanpa tujuan eksklusif untuk satu perusahaan saja, namun lebih kepada kesejahteraan masyarakat secara luas.
"Bontang terjadi enclave tadi. Sama seperti Arun (Aceh). Bintulu kesannya tidak kompleks. Kalau di Bontang perusahaan bikinkan rumah di kompleks, di Bintulu karyawan diberikan uang untuk sewa rumah di lingkungan sekitar," jelas Bambang.
Dalam Rakernas Bappeda se-Indonesia kemarin, Bambang mengingatkan Pemda untuk merencanakan pembangunan suatu daerah secara jangka panjang. Belajar dari kondisi di Bontang, lanjut Bambang, ia menyadari tujuan pengembangan kawasan agar karyawan merasa nyaman. Hanya saja ia mengingatkan bahwa pembangunan sebuah daerah akan dinamis, tidak 'begitu-begitu' saja. Apalagi Bontang berurusan dengan sumber daya alam yang produksinya terus menurun.
"Sepuluh dua puluh tahun lagi daerah berkembang. Perencanaan jangan dengan pandangan enclave. Ciptakan yang terintegrasi, bukan kota yang didominasi dengan satu perusahaan," kata Bambang.
Menurut Bambang, perencanaan kota yang inklusif mampu memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan bagi masyarakatnya secara merata. Ia juga menilai bahwa perencanaan pembangunan kota secara inklusif, mampu menekan angka kemiskinan sekaligus menekan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Seperti yang terjadi di Bintulu, ekonomi bergulir secara merata.