Sabtu 17 Feb 2018 05:03 WIB

Parpol dan Nalar Politik Rente

Pimpinan partai atau pendiri partai sering kali berlaku bak pemilik perusahaan.

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah

Dalam doktrin etik, yang diperkenalkan Auguste Comte, ada istilah populer yang kita kenal, yakni altruisme.

Altruisme adalah doktrin etik di mana setiap individu termotivasi untuk memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak, atau dalam etika tasawuf sering disebut dengan istilah futuwwah, yakni sikap totalitas seseorang melayani kepentingan orang lain, kesiapan memikul berbagai bentuk penderitaan.

Egoisme adalah sikap etik yang sebaliknya, individu selalu termotivasi bekerja untuk kepentingan dirinya. Penulis berusaha memahami politik dengan nalar idealis-moralis ala Aristoteles yang melihat politik sebagai usaha yang dilakukan warga negara untuk menghadirkan kemaslahatan bersama.

Kontestasi kekuasaan dilakukan untuk mendapatkan kesempatan menjadi manusia paling bermanfaat atau berlomba-lomba dalam kebaikan, yakni motivasi etik untuk bekerja bagi kepentingan orang banyak.

Maka itu, sejatinya nalar politik berada pada bingkai sikap mental atruisme, dengan kata lain etika politik dengan penalaran atruisme, di mana politik ditempatkan sebagai jalan ibadah (ubudiyah) untuk menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.

Namun, das sein sering kali tidak 'berjodoh' dengan das sollen. Das sein, politik secara etik berubah menjadi ruang yang penuh dengan kompetisi egoisme.

Kompetisi untuk memenuhi syahwat, kepentingan pribadi, dan kelompok sehingga tidak jarang politik identitas menjadi 'bumbu' penting dalam setiap kompetisi politik karena memang praktiknya semua tentang upaya untuk memaksimalkan utilitas individu.

Upaya memaksimalkan utilitas individu tersebut, identik dengan etika ekonomi, sehingga perburuan rente menjadi laku jamak sebagai fenomena politik kekinian. Politik bak pasar ekonomi, di mana transaksi mengejar keuntungan pribadi dan kelompok dimaksimalkan.

Maka itu, kartel-kartel partai politik pun terbentuk dengan sendirinya untuk memastikan kepuasan pribadi dan kelompok itu bisa dipenuhi politik uang dalam berbagai bentuk.

Mulai dari praktik mahar politik untuk mendapat dukungan partai politik bagi para calon kepala daerah, praktik suap petugas pemilu, bagi-bagi uang kepada pemilih, dan berbagai praktik transaksi politik lainnya ramai menghiasi politik kita.

Pimpinan partai atau pendiri partai sering kali berlaku bak pemilik perusahaan. Partai politik tidak lebih sekadar menjadi perusahaan kesekian bagi pendiri atau pemimpin puncak partai politik, meskipun penulis tidak berani menyebut semua partai politik seperti itu.

Mesin perburuan rente

Partai politik menjadi mesin perburuan rente, tentu penggerak mesin tersebut adalah para pengurus partai politik yang memiliki jabatan-jabatan penting politik mulai legislatif sampai eksekutif, mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.

Dengan demikian, tidak ada tempat untuk nalar kesejatian politik, yakni nalar altruisme. Semua berubah menjadi upaya memenuhi egoisme, perburuan rente. Politisi yang berusaha merawat nalar politik altruistik sering kali tidak mendapat tempat. Mereka harus bertarung melalui berbagai cara berhadapan dengan nalar politik rente para elite, bahkan tidak jarang juga akan berhadapan dengan nalar politik rente voters.

Nalar politik rente tersebut membentuk pasar politik yang bersifat oligopoli. Pasar politik Indonesia, mulai dari pusat sampai daerah, dikuasai kartel-kartel partai politik dengan politisi yang memiliki 'darah biru' politik atau uang banyak.

Mereka yang dengan leluasa bisa masuk dalam kompetisi pasar politik yang oligopoli tersebut. Nalar politik rente merobohkan idealisme politik sebagai upaya untuk menghadirkan kemaslahatan bersama, sehingga korupsi menjadi praktik jamak.

Namun, penulis tidak hendak melakukan generalisasi, di tengah pasar politik oligopoli dengan nalar politik rente tersebut. Pasti selalu ada celah cahaya bagi nalar-nalar politik yang merawat etika altruisme, meskipun tentu bukan pekerjaan mudah untuk menang dalam kompetisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement