REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan bila DPR dan pemerintah bersikeras membuat ketentuan soal penghinaan kepada Presiden di dalam KUHP yang baru, maka harus disusun sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurutnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Pertama, ketentuan soal pencemaran nama baik dan penghinaan tersebut, disesuaikan sebagaimana diatur di dalam pasal 310 KUHP. Kedua, delik pencemaran nama baik atau penghinaan itu merupakan delik aduan karena kerugiannya lebih bersifat peibadi.
"Ketiga, ancaman hukumannya harus di bawah 5 tahun, agar tidak bisa ditahan dan tidak dijadikan alat oleh siapapun termasuk pejabat publik bahkan Presiden untuk memukul lawan politiknya," jelasnya kepada Republika.co.id, Jumat (16/2).
Keempat, jika unsur Presiden atau pejabat publik dimasukkan ke dalam pasal penghinaan tersebut, maka sebaiknya digunakan dalam konteks pemberatan yang berarti sebagai penghargaan pada jabatan publik. Saat ini, ancaman hukuman untuk pencemaran nama baik yaitu 9 bulan dan dikenakan denda.
Fickar memaparkan, bila korbannya adalah pejabat publik atau Presiden, maka ancaman hukumnnya dapat dibedakan. Misalnya, lanjut Fickar, jika korbannya pejabat publik, maka hukumannya maksimal 12 bulan penjara beserta denda sekian rupiah. Sedangkan bila korbannya presiden atau wakil presiden, hukuman maksimalnya bisa 1 tahun 6 bulan penjara beserta denda sekian rupiah.
Di sisi lain Fickar juga mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi pada 2006 melalui putusannya telah membatalkan norma penghinaan kepada Presiden dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tak hanya membatalkan, MK juga menurunkan gradasi pasal 207 KUHP soal penghinaan kepada pejabat publik sehingga menjadi delik aduan.
Hal tersebut didasarkan pada asas persamaan di depan hukum yang juga diatur di dalam konstitusi, yaitu pasal 28 UU Dasar 1945. "Karena itu, jika DPR dan pemerintah memberlakukan secara khusus ketentuan penghinaan terhadap Presiden (di dalam KUHP yang baru), maka jelas akan bertentangan dengan konstitusi," katanya.