REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, memuat pasal penghinaan terhadap Presiden ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu sama saja dengan menghidupkan pasal karet. Sebab, pasal tersebut bersifat multitafsir.
"Mengapa, karena pasal ini bisa multitafsir, selain menuntut murni yuridis, tapi juga bisa memukul lawan politik atas perbedaan pendapat apalagi dikaitkan dengan pasal 7 UU Dasar 1945 tentang mekanisme pemakzulan Presiden karena Presiden melakukan kejahatan berat termasuk korupsi," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (16/2).
Fickar menambahkan, tempat asal mula dibuatnya pasal penghinaan terhadap Presiden, yakni Belanda, pun telah dicabut karena dianggap sudah tidak cocok. "Pada negara demokrasi seperti Indonesia norma pasal itu sudah tidak cocok, bahkan di negara asalnya pun norma pasal ini sudah dicabut," ujarnya.
Selain itu, menurut Fickar, pasal penghinaan Presiden dalam RKUHP hanya merangkum substansi pasal 134, 136, dan 137 KUHP yang ada saat ini, yaitu menempatkan raja atau ratu sebagai simbol negara. Padahal, hal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
Fickar menuturkan, Presiden bukanlah simbol negara karena berdasarkan UU 24/2009, yang dimaksud dengan simbol negara adalah bendera, bahasa dan lambang negara Pancasila. "Karena itu, MK selain membatalkan norma penghinaan kepada Presiden, juga menurunkan gradasi pasal 207 KUHP penghinaan terhadap pejabat publik sebagai delik aduan," ujarnya.
(Baca: Pasal Penghinaan Presiden Belum Dibahas dengan Pemerintah)