REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Kepresidenan mengatakan, pasal penghinaan presiden dan Wapres dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) belum dikomunikasikan dengan pihak pemerintah. Sehingga pasal tersebut masih ada kemungkinan berubah, sesuai dengan masukan dari masyarakat.
"Ternyata rancangan undang-undang (RUU) ini khususnya pasal ini masih dalam proses pending. Artinya belum ada kesepakatan baik dari DPR maupun pemerintah dalam berkenaan dengan rumusan penghinaan presiden dan Wapres ini," ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ifdhal Kasim usai diskusi dikantornya, Kamis (15/2).
Ifdhal mengatakan, sejauh ini rancangan pasal tersebut sifatnya masih berstatung tunda. Dengan demikian berbagai masukan dari masyarakat masih memungkinkan merubah rencana memasukan pasal tersebut dalam KUHP terbaru. "Jadi kan begini. Kan ada proses dinamis dalam setiap perumusan UU. Jadi menurut saya, kemungkinan untuk berubah dalam arti apakah unsurnya apakah ancaman pidananya masih sangat mungkin," katanya.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih mengatakan, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebenarnya bukan pasal baru, karena ini satu rumusan yang ada lama. Kemudian setelah didalami dan membaca putusan MK 013022, putusan ini masih split decision. Maka perlu dilakukan sejumlah langkah yang perlu dilakukan, pertama terkait perumusan di dalam delik penghinaan karena penghinaan itu suatu penistaan yang merendahkan martabat.
"Di dalam rancangan, tak hanya penghinaan terhadap Presiden, ada bendera, bahasa, simbol lain, termasuk orang mati juga ada. Kemudian penghinaan kepala negara sahabat. Jadi terkait pengaturan tentang presiden dan wapres ini terkait penghinaan, rumusannya pasti sudah tidak sama dalam rumusan KUHP," ujar Enny.
Dia menyebut bahwa harus ada perbedaan ketika hakim memutuskan mengenai menghina atau menista. Oleh sebab itu pasal ini ketika dimasukan dalam RKUHP harus tetap menjamin pendapat masyarakat atau lembaga.
"Tetapi ketika penghinaan, harus ditegakkan sebuah aturan hukum. Bagaimana mekanisme penegakkan apakah delik aduan dan delik biasa masih dirumuskan sebagai delik biasa. Kami belum ubah, harus ada penjelasan siapa yang mengadu," lanjutnya.