Senin 12 Feb 2018 14:15 WIB
Maraknya Oknum Adu Domba Agama di Tengah Tahun Politik

Fahira: Jika Abai, Letupan Itu Bisa Jadi Bom Waktu

Motif berbagai penyerangan terhadap pemuka agama ini hanya satu, merusak kedamaian.

Rep: Novita Intan/ Red: Agus Yulianto
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).
Foto: ANTARA FOTO
Ketua Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris menyampaikan pendapatnya saat diskusi forum legislasi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah aksi kekerasan yang menyasar pesantren, ulama, dan ustaz, kini terjadi lagi aksi kekerasan di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta pada Ahad pagi (11/2). Selain melukai beberapa jemaat, penyerang juga melukai Pastor Karl-Edmund Prier SJ yang sedang memimpin misa.

Menurut Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris, rentetan peristiwa yang menyerang para pemuka agama ini harus dipandang dari perspektif yang lebih luas dengan tidak menyederhanakannya sebagai peristiwa kriminal biasa. Hal ini, kata dia, agar umat beragama terus waspada menyikapi fenomena tidak biasa ini.

"Kami (Komite III DPD RI) mengutuk keras penyerangan terhadap para pemuka agama. Setelah ulama kini pastor, susah untuk tidak curiga kalau kita sedang diadu domba. Letupan-letupan peristiwa ini jika diabaikan akan menjadi bom waktu yang bisa disulut kapan saja. Negara harus selangkah di depan mengantisipasi kejadian-kejadian seperti ini," ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Senin (12/2).

Fahira mengungkapkan, aksi-aksi penyerangan yang menyasar para pemuka agama selain sangat efektif membangkitkan amarah antarumat beragama, menumbuhkan rasa saling curiga dan saling tuduh menuduh. Selain itu, juga efektif dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk melakukan pembenaran atas klaim-klaim mereka yang menyatakan bahwa Indonesia sedang dilanda wabah intoleransi di mana-mana.

Menurutnya, motif dari berbagai penyerangan terhadap pemuka agama ini hanya satu yaitu merusak kedamaian sehingga tidak perlu dibelokkan ke isu-isu lain.

photo
Petugas kepolisian melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) kasus penyerangan di Gereja Katholik St. Lidwina, Jambon, Trihanggo, Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, Ahad (11/2).

Saat pemuka agama tertentu dianiaya mereka tidak berkomentar dan menganggap perisitwa biasa. Tetapi saat pemuka agama lain mengalami hal yang serupa, isunya mereka belokkan menjadi soal intolerensi dan politik identitas. "Kita harus waspada terhadap oknum-oknum yang suka standar ganda seperti ini. Sadar atau tidak sadar, opini mereka ini malah memperkeruh suasana," ucapnya.

Menurut Fahira, terlepas dari ada tidaknya benang merah terhadap penyerangan para pemuka agama belakangan ini, tokoh-tokoh agama diharapkan dapat menjaga umatnya masing-masing dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyejukkan. Karena kalau umat saling bersitegang, saling curiga, saling tuduh dan saling memojokkan, artinya masyarakat tidak sadar sudah menjadi pion-pion oknum-oknum yang memang ingin memanfaatkan berbagai kejadian ini untuk maksud-maksud tertentu.

"Ada atau tidak yang menggerakkan peristiwa ini atau apapun motifnya, kita harus menahan diri. Sekarang kita hanya tinggal berharap negara dalam hal kepolisian lebih serius memandang kasus penganiayaan para pemuka agama ini,"  ucapnya. Pengusutan kasus-kasus seperti harus tuntas, karena kalau tidak akan menjadi bara panas dalam kehidupan umat beragama dan ini berbahaya, terlebih menjelang pilkada serentak dan Pemilu 2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement