Sabtu 10 Feb 2018 07:11 WIB

Pengabdian Perawat Berjilbab di Kampung Suku Asmat

Dua perawat berjilbab yang mengabdi di pedalaman Papua, Devi Dewiana (jikbab pink) dan  Ria Amriana.
Foto:
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

Hal senada juga diungkapkan perawat lainnya yang juga bertugas di Yaosakor, Ria Amriana (26). Seperti Devi, ia juga berasal dari Makassar dan berhijab. Meski berbeda keyakinan dengan kebanyakan warga Asmat yang beragama Katolik, Ria bersaksi jika ia diterima dengan baik.

Masyarakat kampung tersebut, menurut Ria, juga menghormati keduanya meskipun berbeda agama. "Untuk sementara, belum pernah (diusir). Kan pelayanannya kita di pustu (puskesmas pembantu) di kampung-kampung," ujar perempuan yang belum bersuami tersebut.

Berdasarkan pengakuan Devi dan Ria, mengedukasi warga tempatan soal kesehatan memang bukan pekerjaan mudah. Meski begitu, pekerjaan yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang mustahil. Salah satu kuncinya, menurut Ria, adalah pendidikan.

Ada sekitar 50 persen lebih peningkatannya. Cuma kalau di kampung sini ada sekolah SMP dan SD. Nahdi kampung lain juga ada sekolah cuma kadang mereka (para murid) ke bivak (rumah berpindah di hutan) mencari kayu hitam (gaharu)," kata Ria.

Sejak kabar KLB campak dan gizi buruk menyeruak dari Asmat, penampakan perempuan berjilbab di Asmat sedianya bertambah. Mereka merupakan relawan dari sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) yang menyalurkan bantuan dan tenaga kesehatan di daerah tersebut, seperti ACT yang sempat memberikan penyuluhan kesehatan kepada warga Kampung Yaosakor, Rabu (7/2).

"Kemarin Maghrib saja ada enam sampai tujuh saf yang shalat berjamaah, sedangkan subuh ada sekitar tiga saf," ujar Hajri, salah seorang relawan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) saat ditemui Republika.co.id di Masjid An-Nur di Agats, Rabu (7/2). Di sela-sela obrolan selepas Shalat Subuh itu, tampak empat relawan dengan seragam Baznas sedang mem- baca Alquran di masjid.

Umat Islam yang tinggal di Agats tergolong leluasa menjalankan ibadah mereka. Kebanyakan Muslim di daerah itu adalah para pedagang, pegawai pemerintahan, dan relawan.

Salah seorang tokoh masyarakat Asmat, Norbertus Kamona mengatakan, umat Katolik sebagai mayoritas juga sadar kalau umat Islam berhak melaksanakan ibadahnya dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Bahkan, menurut dia, saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga kerap dibantu oleh umat Katolik. Begitu juga sebaliknya. "Sampai dengan hari ini, tetap kalau ada namanya takbiran yang bikin takbiran itu kita. Kemudian yang kerja kita orang Kristen," kata Norbertus sembari tersenyum.

Dia mengatakan, ada sekitar 80 Muslim dan Muslimah tempatan di distrik dengan jumlah total penduduk sekitar 15 ribu jiwa itu. "Yang agama Islam kanada sekitar 80-an orang, yang lain itu mereka kan mendukung untuk membantu mereka untuk apa. Jadi masalah kehidupan beragama di sini tidak ada," kata Norbertus.

Wakil Bupati Asmat Thomas E Safanpo menjelaskan, setidaknya ada dua masjid di Kabupaten Asmat.Masjid An-Nur, salah satunya, dibangun dari tanah yang dihibahkan kakeknya. Itu diban- gun sekitar tahun 1972,"katanya saat berbincang dengan Republika.co.id di pelabuhan Distrik Agats. "Kalau kalian mau lihat NKRI yang sesungguhnya, ada di Papua."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement