Jumat 09 Feb 2018 17:14 WIB

Legislator PDIP: KPK Wajib Ikuti Rekomendasi Pansus Angket

Menurut Masinton, kini rekomendasi Pansus Hak Angket KPK bersifat mengikat.

Anggota Pansus Angket DPR dari PDIP Masinton Pasaribu saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (9/2).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Anggota Pansus Angket DPR dari PDIP Masinton Pasaribu saat ditemui di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (9/2).

REPUBLIKA.CO.ID. JAKARTA -- Anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Masinton Pasaribu mengatakan, KPK wajib melaksanakan rekomendasi dari Pansus Hak Angket. Sebab dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi terkait keberadaan Pansus Angket, maka rekomendasi yang dihasilkan Pansus bersifat mengikat.

"Dengan adanya putusan MK maka KPK wajib melaksanakan seluruh rekomendasi yang dikeluarkan Pansus Angket KPK yang nantinya akan disampaikan ke sidang paripurna," kata anggota Pansus Angket KPK Masinton Pasaribu di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (9/2).

Masinton menjelaskan putusan MK itu memutuskan sah atau tidaknya pembentukan Pansus Angket, sehingga ketika gugatan uji materi ditolak maka keberadaan Pansus sah dan seluruh rekomendasinya mengikat dan wajib dilaksanakan KPK. Politikus PDIP itu menegaskan bahwa apabila KPK tidak melaksanakan rekomendasi Pansus, publik otomatis akan mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi yang dijalankan lembaga itu.

"Karena ada temuan-temuan terkait internal KPK yang harus dibenahi seperti aspek Sumber Daya Manusia (SDM), tata kelola kelembagaan, tata kelola anggaran dan juga sistem penegakan hukum," ujarnya.

Konsekuensi lainnya menurut Masinton, kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK juga akan stagnan apabila tidak menjalankan rekomendasi Pansus. Selain itu, menurut dia, KPK juga akan dianggap tidak akan pernah mampu membangun sistem anti korupsi yang kuat dan kokoh.

"Kalau terus seperti itu, anggaran besar, hasilnya minim, hanya semangat menangkap orang sebanyak-banyaknya tapi minim dalam mengembalikan kerugian negara sebesar-besarnya," katanya.

Selain itu Masinton mengatakan meskipun ada putusan MK, rekomendasi Pansus KPK terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK tetap ditiadakan karena fokus Pansus adalah pembenahan KPK berdasarkan temuan-temuan.

Anggota Komisi III DPR itu menjelaskan, Pansus Angket KPK mengusulkan pembentukan dewan pengawas yang terintegratif, yaitu tidak hanya berlaku bagi KPK, melainkan semua lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Tapi ada yang harus dibenahi oleh KPK baik itu dari berdasarkan temuan-temuan yang ada dalam Pansus Angket dari mulai tata kelola barang rampasan, tata kelola SDM-nya, tata kelola anggaran dan juga sistem penegakkan hukumnya," katanya.

Sebelumnya amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak tiga permohonan uji materi Pasal 79 ayat (3) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait dengan hak angket DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis (8/2).

Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat bahwa pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah berpendapat bahwa meskipun tergolong lembaga penunjang dan bersifat independen, KPK masih termasuk lembaga eksekutif karena melaksanakan tugas dan wewenang sebagai lembaga eksekutif.

Dengan demikian, DPR mempunyai hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada KPK sama seperti KPK yang memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada publik, jelas Hakim Konstitusi yang membacakan pertimbangan Mahkamah.

Kendati demikian empat hakim konstitusi yaitu; Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dari lima hakim konstitusi lainnya. Perkara tersebut terdaftar dengan nomor 36/PUU-XV/2017, 37/PUU-XV/2017, dan 40/PUU-XV/2017.

Perkara nomor 36 dimohonkan oleh gabungan mahasiswa dan dosen fakultas hukum yang menamai diri mereka Forum Kajian Hukum dan Konsitusi (FKHK). Sementara itu perkara nomor 37 diajukan oleh Horas A.M. Naiborhu selaku Direktur Eksekutif Lira Institute, dan perkara nomor 40 diakukan oleh sejumlah pegawai KPK.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement