REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta mendorong pemerintah kabupaten segera memperbanyak pembentukan desa gizi untuk mencegah kasus gizi buruk dan stunting di daerah itu.
Kepala Seksi Gizi Dinas Kesihatan (Dinkes) DIY Endang Pamungkasiwi di Yogyakarta, Kamis, mengatakan sejak 2014 Pemda DIY telah merintis desa model perbaikan gizi dan kesehatan untuk anak. Hingga 2017 telah terbentuk 11 desa model.
"Kami tidak akan menambah desa model lagi karena tahun ini kami berharap kabupaten sudah mulai bisa memperbanyak dengan mereplikasi desa model itu," kata Endang, Kamis (8/2).
Menurut Endang, melalui desa gizi tersebut masyarakat akan dibimbing mengenali gizi buruk dan stunting. Masyarakat desa akan mengetahui ciri-ciri gizi buruk dan stunting serta bagaimana cara menanggulangi atau memulihkannya.
Ia menyebutkan desa model perbaikan gizi dan kesehatan untuk anak telah dibentuk di Kabupaten Kulon Progo (3 desa), Kabupaten Sleman (2 desa), Bantul (2 desa), Gunung Kidul (2 desa), dan Kota Yogyakarta (2 desa). "Sampai sekarang semua kabupaten sudah mulai berinisiatif mereplikasi desa model itu, kecuali Kota Yogyakarta yang belum," kata dia.
Untuk menanggulangi kasus gizi buruk dan stunting, Dinkes DIY juga telah membuat program pemberian nutrisi tambahan bagi ibu hamil dan anak dalam bentuk biskuit, khususnya untuk wilayah yang ditemukan kasus gizi buruk tinggi. Bedasarkan data Dinkes DIY pada 2017, kasus gizi buruk dan stunting mencapai 0,46 persen dari seluruh anak atau balita di DIY. Persentase itu mengalami penurunan kendati tidak signifikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Angkanya mengalami penurunan meski tidak signifikan. Yang jelas masih di bawah angka nasional," kata dia.
Kasus gizi buruk di DIY, menurut Endang, jangan disamakan dengan kasus gizi buruk pada suku Asmat, Papua. Anak-anak penderita gizi buruk di DIY memiliki kondisi layaknya anak normal lainnya, hanya saja berat badan dan tinggi badan di bawah anak seusianya.
"Makanya untuk masyarakat awam biasanya tidak menyadari anak atau balitanya mengalami gizi buruk," kata dia.
Menurut Endang, munculnya kasus gizi buruk, menurut dia, tidak selalu berkorelasi dengan kondisi perekonomian suatu daerah. Kendati pada 2014 Pemda DIY mengumumkan angka kemiskinan menurun, pada kenyataannya jumlah kasus gizi buruk justru naik mencapai angka 0,51 persen.
"Kalau hanya soal ekonomi berarti hanya masyarakat miskin yang mengalami gizi buruk. Kenyataannya gizi buruk juga dialami anak pada keluarga berpenghasilan tinggi," kata dia.
Kasus gizi buruk, menurut dia, dapat dipicu dari berbagai faktor. Selain kemungkinan disebabkan persoalan ekonomi, juga disebabkan pola hidup atau pergeseran pola makan masyarakat. Misalnya, jika dahulu masyarakat lebih banyak makan di rumah, sekarang lebih banyak yang makan di luar rumah karena tuntutan pekerjaan atau kondisi lainnya.
"Meskipun kami tidak menyalahkan ibu-ibu yang berkarier, tetapi memang sedikitnya waktu yang dimiliki untuk memasak makanan sendiri dan memilih mengonsumsi makanan instan membuat ibu rumah tangga tidak terlalu memperhatikan faktor gizi," kata dia.