REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menuturkan, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dimuat di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) seharusnya tidak disepakati DPR. Sebab, pasal tersebut telah dibatalkan MK pada 2006
"Seharusnya itu tidak masuk lagi, karena sudah ada putusan MK terkait pasal penghinaan Presiden," kata dia di Jakarta, Rabu (7/2).
Feri melanjutkan, di dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dijelaskan bahwa pembuatan UU harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena itu, menurut dia, seharusnya DPR tidak mengabaikan putusan MK dalam merampungkan RKUHP.
"Seharusnya mereka tidak mengabaikan putusan MK. Bukankah dalam UU 12/2011, bahwa untuk pembuatan UU harus memperhatikan putusan MK. Kalau itu masih dilanjutkan, sama saja tidak memperhatikan putusan MK. Kalau dipaksakan, berarti melanggar konstitusi," kata dia.
Baca: DPR Klaim Pasal Penghinaan Presiden di KUHP Kali Ini Berbeda.
Jika ada pihak yang tetap ingin memasukan pasal tersebut ke dalam KUHP yang baru, maka semestinya mengikuti terlebih dulu langkah-langkah konstitusional dengan mengajukan permohonan uji materi ke MK. "Kalau ada yang protes, harus diikuti langkah-langkah konstitusional dengan pengujian materi ke MK," tambah dia.
Terlebih, menurutnya, gugatan tersebut tentu pasti ditolak. "Karena MK pasti mempertimbangkan putusan yang lama," tutur dia.
Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam KUHP saat ini, pernah digugat ke MK oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. Gugatan mereka pun telah ada putusannya pada 2006, yaitu Putusan MK nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK dalam putusannya membatalkan pasal tersebut.