Rabu 07 Feb 2018 19:02 WIB

Sengatan Ikan Pari, Impor Beras, Hingga Penghinaan Presiden

Kalau menggunakan akal sehat mustahil ada hungungan.

ikan pari
Foto: wikipedia.org
ikan pari

Oleh: Maiyasak Johan*

Pasti sulit, mencari hubungan antara sengatan ikan pari dengan beras impor, banjir, negara agraris, pasal penghinaan presiden, dan  Keppres zakat. Bahkan saya pun yakin itu rada mustahil. Namun jika dilihat dari teori kemungkinan: "Hal itu bukan tidak mungkin," kata teman saya ditengah-tengah suasana meninjau banjir kemarin.

Penasaran atas stetement yang sangat spekulatif dari teman itu, teman yg lain meminta penjelasan, karena menurutnya pernyataan teman tersebut mengandung kontradiksi. Pada satu sisi, ia mengakui mustahil ada hubungannya, sedangkan disisi lain, ia dengan spekulatif menyatakan: "Mungkin!"  Karena itu menurutnya diperlukan penjelasan.

Dengan senyum ringan teman itu menjawab: “ Jika kalian menggunakan akal sehat, maka kalian sepakat dengan saya bahwa mustahil ada hubungan antara sengatan ikan pari dengan impor beras, banjir, negara agraris, penghinaan presiden, hingga rencana Keppres zakat. Namun pengalaman kita hidup bersama sebagai suatu bangsa, secara teoritis memungkin sebaliknya. Mengapa? Karena bagi bangsa ini masalah kontradiksi itu tidak menjadi aspek penting yang dipertimbangkan, melainkan aspek mistisnya yang lebih didalami. Itulah sebabnya, sebagai bangsa kita melihat dan menemukan dan karena itu terbiasa dipaksa hidup dengan cara pandang yg kontradiktif”.

“Kadang kontradiksi itu dipakai untuk membenarkan, tetapi kadang dipakai utk menyalahkan suatu kelompok. Misalnya dalam masalah impor beras. Sejak SR/SD kita diajari bahwa indonesia adalah negara agraris. Dan menurut laporan kementerian pertanian bulan maret 2018 kita akan mulai panen. Total produksi diperhitungkan 20 juta ton lebih. Lalu anehnya, bulan Februari akhir ini akan masuk beras impor sebanyak 500 ribu ton. Bukankah itu aneh dan kontradiktif serta merugikan petani? Bukankah seharusnya menurut akal sehat seharusnya tidak mungkin? Tapi nyatanya: jadi mungkin. "Alasan untuk mungkin pun lalu dibuat.”

“Begitu juga dengan rencana impor jagung, impor garam dan impor gula. Indonesia ini negara kepulauan yg dikelilingi laut, negara agraris yang subur yang tak ada kendala musim. Ditambah berbagai program yang menghabiskan dana triliunan, namun bukan saja infrastruktur dan teknologi pertanian yang masih tertinggal, tetapi keberpihakan politik dalam bentuk regulasi dan sistem yg menjamin petani bisa menikmati keuntungan dan makmur tak tersedia.

Akibatnya, bukan cuma kemiskinan dan ketertinggalan yg kita temui, melainkan lahan-lahan mereka pun tergadai, dan mereka pindah ke sektor informal sebagai buruh pabrik dan sebagainya. Bukankah ini tidak masuk akal tetapi terjadi.”

“Apakah tidak mungkin ini merupakan modus untuk mencari uang dari rente import? Bukankah ini tahun politik?," potong teman yang bertanya di atas tadi.

“Apakah pertanyaan kau itu sama artinya kau ingin mengatakan, bahwa intensitas kegiatan mencari dan mengumpulkan uang pada tahun politik mengalami kenaikan”, tanyaku pada teman yang bertanya itu.

“Bukankah kemungkinan itu ada? Termasuk kemungkin adanya hubungan dengan suksesi thn 2019," jawab temanku itu.

“Jika demikian, apakah rencana keppres yg ingin menarik zakat umat islam itu berhubungan dengan suksesi 2019, kesulitan keuangan atau utk menghalangi umat Islam mendayagunakan self potensi ekonominya?" tanyaku lagi.

Lalu ada seruan:"Pak kita sudah sampai," kata supirku. Maka kami pun turun, lalu mereka mengambil mobilnya. Aku masuk ke dalam rumah, kami pun bubar.

Kami sepakat, apa yg kami bahas akan dilanjutkan dalam pertemuan mendatang. Banyak pernyataan, asumsi dan pertanyaan yang belum terjawab. Namun kami tak menutup diri, anda juga boleh menjawab atau mempertanyakannya. Kini aku pun teringat: apa ini juga ada kaitannya dengan pasal penghinaan presiden?

Jawabnya, entahlah!

 

*Maiyasak Johan, Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement