Selasa 06 Feb 2018 18:10 WIB

MK Minta DPR tak Buat Norma Baru Penghinaan Presiden di KUHP

DPR saat ini membahas pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta, Senin (15/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta, Senin (15/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono menjelaskan tidak boleh lagi ada norma yang serupa dengan pasal 134, 136, dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden, dalam upaya pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) . Ketiga pasal yang sebelumnya sudah diuji dan diputuskan oleh MK.

"Jadi sudah tidak boleh lagi ada yang seperti itu, yang serupa dengan itu. Karena kita sekarang republik dan demokratis. Itu sudah jelas sekali mandat konstitusional harus dipenuhi oleh legislasi," ujar Fajar kepada wartawan di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (6/2).

Meski begitu, jika nantinya norma-norma serupa tetap ada, Fajar merasa tak masalah dan tetap berlaku sebagai produk legislasi. Tapi, tentu ada konsekuensinya, yaitu akan adanya masalah konstitusionalitas pada pasal yang berisi norma yang serupa itu.

"Ada problem konstitusionalitas di sana. Yang bisa dilakukan, akan ada pemohon mengujikan itu," terangnya.

Fajar pun merasa tidak mungkin tidak ada pemohon yang mengajukan uji materi pasal-pasal dengan norma tersebut jika nantinya benar tetap ada di KUHP yang baru. Ia melihat kondisi saat ini di mana sudah ada perdebatan di tengah masyarakat terkait pasal-pasal penghinaan presiden itu.

"Jadi tidak mungkin kalau tidak ada pemohon. Teman-teman NGO (LSM) sudah bersuara, 'Ini kok muncul lagi', meskipun dengan formula yang berbeda, tapi sama," tutur Fajar.

Jadi, kata dia, sebaiknya jauhilah masalah konstitusional. MK sudah membuat mandat konstitusional, membuat rambu-rambu untuk hal itu jika memang ingin membuat legislasi yang bebas dari masalah konstitusional. "Sesuai dengan keputusannya ya ikuti putusan MK. Sudah aman itu (dari masalah konstitusional)," lanjut dia.

DPR pun ia katakan tak perlu repot-repot membuat tafsir konstitusi baru yang sebenarnya sudah ditafsirkan oleh MK. Tafsir dari putusan MK, kata Fajar, mengikat.

"Mudah sebenarnya kalau punya kemauan untuk membuat sesuai putusan MK. Akan aman tidak ada penggugatnya. Kalau ini dibuat, digugat, batal lagi, nanti dibangunkan lagi, digugat, batal lagi, capek muter-muter," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement