Selasa 06 Feb 2018 14:56 WIB

Papua Nyaris tak Tersentuh Pendidikan dan Kesehatan

Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1).
Foto: Fitriyan Zamzami/ Republika
Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fitriyan Zamzami dari Papua

Matahari sudah agak tinggi di Kabupaten Asmat. Sebentar lagi pukul 08.00 WIT. Satu-dua anak-anak bercelana pendek merah dengan dengan kemeja putih mulai mendatangi sekolah. Hampir seluruhnya tak bersepatu. Berkumpul di tengah sekolah sebentar, mendaras Pancasila, kemudian bubar, tapi tak langsung belajar.

Sekolah dasar yang didirikan salah satu yayasan pendidikan Katolik di Asmat tersebut, seluruhnya terbuat dari kayu. Ia didirikan di atas semacam panggung yang di topang pilar-pilar kayu sebagaimana hampir seluruh bangunan di Asmat.

Di bawah panggung, rawa berlumpur. Sebagian anak-anak agaknya diminta membersihkan sampah di rawa berlumpur bawah sekolah sebelum belajar-mengajar dimulai. Beberapa patuh, lainnya sibuk berlarian dan bercanda.

Ada Erman di antara anak-anak tersebut. Usianya sudah mencapai belasan tapi baru duduk di kelas tiga. Ia masih kesulitan mengeja namanya sendiri. “Tadi ada di situ,” jawab dia saat ditanyai Republika.co.id soal keberadaan guru mereka, akhir pekan lalu. Yang dicari kemudian keluar dari salah satu kelas di bagian selatan sekolah.

Ia seorang perempuan muda dengan gincu merah tebal. Seorang balita meringkuk di gendongannya. “Iya, baru saya sendiri yang datang hari ini,” jawab perempuan bernama Silviatna itu malu-malu. Sudah kerap begitu," tutur dia. Saat ditanya keberadaan guru-guru yang lain, ia hanya menjawab sedang punya urusan masing-masing.

Silviatna sedianya guru kelas empat. Hari itu, ia mungkin harus mengajar sebanyak 200 murid yang tersebar di berbagai kelas. Sekolah itu berdiri di wilayah yang tergolong paling mudah diakses di Asmat. Ia hanya seratus meter dari Bandara Ewer di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. Jika kondisi di sekolah tersebut tergolong tak ideal menurut standar pendidikan di Jawa, di pedalaman kondisinya kerap jauh lebih buruk.

(Baca Juga: Merasakan Beratnya Kehidupan Warga Suku Asmat)

Di Distrik Korowai Bulanop, misalnya, hanya ada sekolah di dua kampung yang masing-masing punya tiga kelas. Alhasil ratusan anak-anak tak bisa mengenyam bangku sekolah. Kondisi tersebut juga serupa di banyak distrik lainnya.

Secara keseluruhan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, rerata lama bersekolah warga Asmat tercatat pada angka 4,5 tahun saja. Artinya, rata-rata warga Asmat berhenti bersekolah pada kelas 4 atau kelas 5 sekolah dasar.

Angka tersebut di bawah rerata lama bersekolah di Papua yang mencapai 6,1 tahun, alias yang terendah di Indonesia. Angka tersebut tak mencapai separuh dari rerata lama sekolah nasional yang mencapai 12,7 tahun.

photo
Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1). (Foto: Fitriyan Zamzami/ Republika)

Di daerah-daerah tertentu, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Di Kabupaten Nduga, misalnya, rerata lama bersekolah 0,7 tahun. Artinya, rata-rata warga Nduga bahkan tak selesai kelas 1 SD. Daerah lain yang mencatatkan lama sekolah terendah di antaranya Pegunungan Bintang dan Yalimo (2,2 tahun), Mamberamo Tengah (2,5 tahun), Lani Jaya (2,9 tahun), Puncak Jaya (3,4 tahun), dan Paniai (3,8 tahun).

Kondisi tersebut tak hanya persoalan pendidikan semata. Ia pada akhirnya berkaitan dengan krisis kesehatan yang jadi sorotan di Asmat dan yang mengancam Papua secara keseluruhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement