REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus terus menjaga kelangsungan uji periodik terhadap obat-obatan dan makanan yang beredar di masyarakat. Hal ini agar kasus obat dan suplemen yang mengandung DNA babi, tidak terulang lagi.
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago, mengatakan pihaknya juga menyarankan agar BPOM mengintensifkan uji periodik hingga ke tingkat kabupaten/kota. Saat ini, BPOM sudah menjalankan program uji periodik terhadap bahan makanan dan obat-obatan.
Dari proses ini, baru-baru ini, ditemukan kandungan lemak babi pada dua produk suplemen, yakni Viostin DS dan Enzyplex. "Karena itu, selain mengapresiasi BPOM, kami juga mendorong agar uji laboratorium secara periodik ini terus dilakukan. Sebab, bisa saja ada temuan-temuan baru dari hasil uji secara periodik itu, " ujar Irma ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Sabtu (3/2).
Dirinya pun mengungkapkan jika sudah melakukan komunikasi secara intensif dengan pihak BPOM. Dari hasil komunikasi tersebut, terungkap bahwa produsen Viostin DS tidak menggunakan bahan dari lemak babi pada saat uji laboratorium untuk meminta surat izin edar dari BPOM.
"Pada saat itu sudah diteliti dan tidak ada kandungan DNA babi. Kemudian di tengah jalan kan selalu ada uji laboratorium periodik yang akhirnya menemukan itu, " ungkapnya.
Berdassrkan penelusuran BPOM, ada bahan baku pembuatan Viostin DS yang diimpor dari beberapa negara, seperti Cina dan India. Karena itu, ada kemungkinan jika kandungan DNA babi berasal dari bahan baku impor tersebut.
"Kami menduga, mungkin karena harga bahan baku itu murah lalu produsen mencoba menggunakan bahan impor itu. Tetapi kan ini tidak boleh dilakukan. Itu bentuk penipuan publik dan konsumen. Produsen bisa dituntut secara hukum, " tegas Irma.
Dia pun meminta, agar produsen Viostin DW dan Enzyplex diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku. Menurut Irma, produsen tidak cukup hanya diberi sanksi penarikan dua jenis obat itu dari distribusi.
"Selanjutnya, perlu ada investigasi secara berlanjut terhadap temuan ini. Ini penting agar produsen obat-obatan tidak main-main lagi, " tuturnya.
Irma menjelaskan, jika Komisi IX belum melakukan pemanggilan kepada BPOM. Pihaknya, berencana meminta keterangan dari BPOM setelah masa reses sidang berakhir.
Sementara itu, untuk mengintensifkan pelaksanaan uji laboratorium secara periodik, Irma mendorong, agar BPOM melakukan hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Sebab, bisa saja produk obat dan makanan yang beredar di Ibu Kota dengan daerah berbeda bahan baku.
Hal tersebut berkaitan dengan peralatan uji laboratorium BPOM yang hanya ada di tingkat provinsi. "Mungkin bisa saja obat yang beredar di Jakarta tidak mengandung lemak babi atau bahan lain yang dilarang. Tetapi kandungan itu dipakai untuk obat atau makanan yang diedarkan di daerah lain, karena di daerah itu belum ada peralatan untuk cek produk secara berkala, " katanya.
Irma menyarankan, agar BPOM mau menyusun perencanaan anggaran dan pengajuan peralatan uji laboratorium keliling yang bisa ditempatkan di kabupaten/kota. Perencanaan tersebut harus dipersentasikan kepada pemerintah.
"Kami menyadari uji laboratorium secara periodik membutuhkan biaya, mungkin itu kendalanya. Namun, pemerintah harus memberi perhatian, sebab ini penting untuk meminimalisasi praktik kecurangan oleh produsen obat dan makanan setelah izin edar untuk produk mereka keluar, " tegasnya.