REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno (IP) angkat bicara soal anggapan Kota Padang tergolong daerah yang rentan disusupi paham radikalisme.
Seperti dilansir laman BBC, Maarif Institute mengungkapkan, ajaran radikalisme punya celah untuk menyusup ke sekolah-sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler kerohanian Islam atau biasa disebut Rohis.
Irwan Prayitno menilai, justru Rohis lah yang menjadi benteng bagi pemuda-pemudi Muslim untuk menangkal paham radikal.
"Di sini (Padang) Rohis bagus, siswa paham Islam dan hafal Alquran. Apakah itu (hafal Quran) yang disebut paham radikal yang tumbuh jadi teroris? Kalau itu, ya saya tidak sepakat. Justru kebalikannya, dengan hafal Alquran, mereka jadi santun," jelas Irwan, Senin (29/1).
Ia menekankan, berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT), sebagian besar kasus terorisme yang ditemukan di Sumatra Barat dilakukan oleh oknum dari luar Sumbar. Ia menolak adanya anggapan bahwa paham radikal justru bebas tumbuh di wilayah yang ia pimpin.
Irwan menambahkan, selama ini Pemda malah menggalakkan gerakan membaca Alquran. Tak heran, cukup banyak siswa di Sumatra Barat yang memiliki kemampuan hafalan Alquran yang tinggi. Pemerintah Kota Padang diterbitkan Peraturan Wali Kota nomor 33 Tahun 2013 tentang Pendidikan Hafalan Alquran.
"Lihatlah fakta, bukan asumsi. Kalau asumsi yang dibangun, salah. Apalagi, asumsi yang dibangun dengan suudzon atau prasangka. Misalnya, kalau orang belajar Islam jadi teroris, radikal. Itu salah," katanya.
Paparan Maarif Institute menyebutkan, sejumlah aktivis Rohis di sekolah menerima pengaruh dari tokoh-tokoh yang dekat dengan gerakan solidaritas di Timur Tengah. Apalagi, bebasnya penggunaan media sosial membuat akses siswa kepada sumber-sumber yang mengarah kepada paham radikal semakin besar.
Peneliti Maarif Institute Pipit Aidul menjelaskan, sebetulnya pihaknya sama sekali tidak menemukan adanya satu pun ajaran radikal di sekolah-sekolah di Kota Padang. Yang ada, lanjutnya, adalah adanya potensi intoleransi di lingkungan sekolah yang bila dibiarkan akan menghasilkan pemahaman radikal.
Bentuk intoleransi ini, lanjutnya, ditemukan dalam perkara penggunaan kerudung atau jilbab. Aidul mengungkapkan, seluruh siswi non-Muslim yang bersekolah di sekolah negeri mengenakan kerudung.
Meski tak ada aturan tertulis tentang hal ini, Aidul melanjutkan, siswi-siswi non-Muslim mengaku 'merasa berbeda' bila tidak mengenakan kerudung. Aidul menolak memberikan informasi detail tentang siswi-siswi ini karena menyangkut kerahasiaan narasumber.
"Seingat saya, alasan siswa non-Muslim memakai jilbab ada dua, dia merasa tertekan dan dia tak mau mendapat pertanyaan mengapa tidak pakai kerudung," kata Aidul.
Ketika ditanya kepada siswi non-Muslim berkerudung tadi apabila boleh memilih menggunakan kerudung atau tidak, lanjut Aidul, ternyata siswi tadi memilih tidak mengenakan kerudung. Bagi siswi-siswi tersebut, pengenaan kerudung bukan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama namun sebagai 'fashion'.
"Bagi mereka kerudung itu fashion karena tak perlu make up dan pakai shampo tiap hari karena rambut saya tertutup kan," jelas Aidul.
Aidul menyadari kondisi ini terbilang sensitif bagi sebuah daerah seperti Kota Padang yang memang menjunjung tinggi adat budayanya. Apalagi, adat Minang memang erat kaitannya dengan ajaran Islam. Ia menekankan bahwa penelitian yang dilakukan Maarif Institute memaparkan kondisi yang terjadi di lapangan.
"Definisi kami, siswa apapun mesti dijamin hak konstitusi sebagai warga negaranya. Radikalisme memang tidak ditemukan, namun diskriminasi dalam bentuk lain ditemukan dan ini bisa menjadi pintu intoleransi," katanya.