REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo membantah penunjukan dua perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur melanggar hukum. Hal tersebut menurut Tjahjo sah dan pernah dilakukan sebelumnya.
"Ada UU nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada. Ada Permendagri bahwa eselon I dan pejabat di bawah kementerian dan lembaga lain bisa diusulkan," kata Tjahjo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (29/1).
Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian, dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kepolisian. Tjahjo pun mengatakan, wacana penunjukan ini tetap tidak melanggar UU tersebut.
"Kalau mundur itu kalau dia mau maju pilkada, masuk anggota DPR, DPRD. Ini hanya penjabat," kata Tjahjo.
Tjahjo pun mengakui hal ini menimbulkan berbagai pendapat hukum. Namun, Tjahjo meyakini wacana ini tetap tidak melanggar hukum. "Sudahlah. Kalau bicara hukum macam-macam banyak, kita hargai. Kita tidak bisa salahin. Pendapat hukum semuanya pro-kontra ada. Tapi, saya menyampaikan pengalaman," ucap Tjahjo.
Saat ini, Tjahjo mengaku proses tersebut pun masih berupa usulan. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri pun masih menunggu usulan dari Kapolri. Secara lisan, kata Tjahjo, Kementerian Dalam Negeri telah meminta usulan pada institusi, yakni Polri, TNI dan Kemenko Polhukam untuk mengajukan nama.
"Begitu terima, kami melaporkan ke Mensesneg. Ini usulan, terserah, istana juga kan ada pertimbangan, ada apa-apa, sebelum keppres dikeluarkan biasanya dua minggu sebelum keppres mengirimkan surat kepada kami, dan memberi tugas pada saya untuk melantik," kata Tjahjo.