Sabtu 27 Jan 2018 07:37 WIB

Ancaman KLB dan SDM Kesehatan di Papua

Warga menggendong anaknya saat menunggu antrean berobat di puskesmas Ayam di kampung Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warga menggendong anaknya saat menunggu antrean berobat di puskesmas Ayam di kampung Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1).

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan wartawan Republika, Fitriyan Zamzami dari Papua

Kejadian gizi buruk dan mewabahnya campak di Kabupaten Asmat, Papua, diketahui bukan peristiwa tunggal. Ia menyoroti ancaman serupa yang juga dihadapi belasan kabupaten lain di Papua.

“Secara epidemologis, ada 17 daerah yang berpotensi mengalami KLB seperti di Asmat,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Mohammad Subuh di Timika, Papua, Jumat (26/1). Rinciannya di Yahukimo, Pegunungan Bintang, Nduga, Tolikara, Lani Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Waropen, Supiori, Deyai, Dogiyai, Intan Jaya, Paniai, Yalimo, dan Asmat. Di antara penyakit yang berpotensi jadi KLB adalah malaria, peneumonia, diare, tipes, pes, dan campak.

Potensi itu ia simpulkan dari sejumlah indikasi. Di antaranya, terus menurunnya tingkat cakupan imunisasi di Papua dalam beberapa tahun belakangan. Saat ini, kata Subuh, rerata cakupan imunisasi di Papua berkisar di antara 60 persen. Meski begitu, ada daerah-daerah yang jauh lebih kecil dari itu cakupannya.

Hanya empat kota yang berhasil memenuhi empat imunisasi dasar. Daerah-daerah tersebut juga belum tentu lepas dari KLB sekira meledak di kabupaten-kabupaten rawan di sekitar.

Selain itu, menurut Subuh, potensi KLB di Papua juga didorong kondisi lingkungan serta kebiasaan hidup yang tak sehat.  Ia mengatakan, sistem Kewaspadaan Dini dan dan Respons (SKDR) sebagai tindakan surveilance sedianya bisa mencegah dan mengendalikan potensi tersebut. Meski begitu, untuk Papua, harus diperkuat lagi.

Persoalannya, dinas-dinas kesehatan di Papua kerap berdalih kekurangan tenaga. Jangankan untuk merancang sistem pencegahan dan pengawasan, guna pelayanan kesehatan saja mereka kelabakan.

Innah Gwijangge mencontohkan dengan memaparkan mirisnya kondisi di kabupaten Nduga, Papua, tempat asal perempuan paruh baya itu. Di seantero Nduga, daerah seluas nyaris empat kali DKI Jakarta, kata Innah, hanya ada satu rumah sakit yang dibangun sejak setahun lalu. Itu pun, menurutnya, tak beroperasi lagi. Pasalnya, hanya ada satu dokter ditempatkan di situ.

photo
Seorang anak menunggu antrean saat berobat di puskesmas Ayam di kampung Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (26/1).

Secara keseluruhan, tutur Innah, ada empat dokter di Nduga. Hanya dua di antaranya yang aktif. Dua lainnya sudah menghabiskan lima tahun tanpa kejelasan kelanjutan studi mereka.

Dari 30 perawat di Nduga. Kata Innah, hanya 15 yang aktif di 11 puskesmas di daerah tersebut. Sementara jumlah bidan, hanya empat yang aktif dari tujuh yang tercatat. “Itu yang membuat prosentase di Nduga begitu rendah,” kata ketua Program Studi P3 Kebidanan Timika itu kepada Republika.co.id ketia ditemui di Timika.

Kisah tak jauh berbeda dituturkan Robby Kayame, kepala Dinas Kesehatan Paniai. Ia menyampaikan, dari 30 puskesmas yang dimiliki Kabupaten Paniai, hanya dua yang berdokter. Satu puskesmas di Enarotali, diurus tiga dokter perempuan, dan satu dokter laki-laki di Enggano.

(Baca Juga: Merasakan Beratnya Kehidupan Warga Suku Asmat)

Ditemui Republika.co.id di Timika, ia berkeluh kesah, bukannya Dinkes Paniai enggan membayar dokter. Menurutnya, saat membuka pendaftaran pada 2016 dan 2017 lalu, tak ada satupun dokter yang mendaftar untuk bekerja di Paniai.

“Sekarang yang banyak ‘dokter mama’. Begitu selesai sekolah maunya dekat mama,” kata Robby berkelakar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement